Saturday, February 26, 2011

FOTOGRAFI INDONESIA BUTUH PEMBAHARU

Catatan dari pertemuan diskusi bedah buku Alfred stieglitz dan polemik fotografi di Indonesia

“Whenever the artist has been true to Nature, art has been good; whenever the artis has neglected Nature and followed his imagination, there has resulted bad art. Nature then, should be the artist’s standard” Peter Henry Emerson, 1875.

Gayung bersambut itu akhirnya lahir menjadi pertemuan diskusi bedah buku bareng di Pustaka Selasar. Semuanya berawal gara-gara ribuan koleksi buku fotografi yang dititipkan Yudhi Surdjoatmojo diperpustakaan ini. Kenapa harus di pustaka Selasar Sunaryo Art Space? Hanya beliau yang bisa menjawab, namun pada akhirnya tidak penting lagi, karena titipan Yudhi ini bermafaat dan bermakna lebih, karena diskusi bedah buku telah digulirkan, setiap minggu terakhir setiap satu bulan sekali. Inillah gaya panganan kekayaan wawasan, yang dikemas dalam Bubur Pustaka Selasar; forum diskusi bedah buku. Bertepatan tanggal 23 Februari 2011, pertemuan pertama kali ini digulirkan, membedah Alfred Stieglitz, tokoh pembaharu fotografi.

Ruang pustaka, dibagian belakang bangunan utama Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pakar Timur nomor 10 itu sejatinya sejuk. Ruang kecil ini ternyata sangat sarat dengan ribuan informasi. Kayu besar satu pohon jati itu dipotong memanjang, menjadi tatakan meja yang sangat unik, sekaligus menjadi tempat pertemuan pertama diskusi bedah buku. Diantara ribuan buku yang berjajar rapih, dengan kode penyusunan sistematis itu, terseliplah satu buku maha karya fotografi Amerika. Adalah Alfred Steiglitz, seorang pembaharu, promotor seni, fotografer, visionaris, editor, penulis dan pemilik galeri fotografi pertama di Amerika. Kenapa harus Stieglitz?

Apa yang menarik dari buku tebal dua ratus halaman itu? Ternyata ada hal yang penting, kaitannya dengan kondisini kekinian fotografi di Indonesia. Judul buku yang dibahas adalah “Alfred Steiglitz: Master of Photography, Essay by Dorothy Norman, Aperture Foundation, Publisher Aperture. Ada beberapa buku yang mengisahakan kembali dalam bentuk biografi, memoair maupun ulasan karyanya. Beberapa tahun lalu, pernah terbit pula dokumentasi film kompilasi biografi dengan judul Alfred Stieglitz The Eloquent Eye, hingga film garapan kelas hollywood yang dibintangin Jeremy Irons dan Joan Allen, dengan judul Georgia O’Keeffe. Kembali pada bedah buku, namun buku tipis terbit tahun 2005 ini rupanya merangkum seluruh karya pribadi Stiglietz. Dari masa aktif tahun 1872 hingga karya terakhir, pameran karya terbaik diakui oleh museum nasional Modern Art di New York, tahun 1942, dengan tajuk “Alfred Steiglitz: His Colletion”.

Kisah panjang Stieglitz dimulai tahun 1881 hingga 1890, ketika kembali ke Jerman, ia memutuskan berhenti menuntuk ilmu mechanical engineering di Berlin Polytechnic dan University of Berlin. Dari titik inilah, ia mengubah hidupnya, mendeklarasikan bahwa visual fotografi sangat menarik minatnya. Untuk menjelajah kegemaran baru ini, tahun 1880-an, Ia berkelana sepanjang Eropa, untuk membuat eksperimen karya dan menambah pengetahuannya, hingga tahun 1883 ia menghasilkan karya pertama di Berlin, Jerman. Tahun-tahun selajutnya, semakin aktif . Dari tahun 1886 hingga 1890, Ia bergabung dengan klub fotografi London Amateur Photographer dan aktif menulis ulasan karya fotografi. Semenjak kembali dan menetap permanen di Ney York, tahun 1891 ia bergabung dengan New York Society of Amateur Photographer. Semenjak itulah, nafas yang ia hirup adalah kebebasan fotografi Amerika, hingga tahun-tahun kedepannya semakin mantap dan dikenal sebagai penulis kritik fotografi yang aktif dan menerbitkan publikasi “Camera Work” yang didirikan bersama Edward Steichen.

Tahun 1895, Stieglitz menyadari bahwa fotografi di Amerika belum diakui sebagai bentuk seni, hingga ia memutuskan untuk mengadopsi genre “Piktorial”. Gaya seni fotografi ini memang telah diakui sebagai ekspresi fotografi populer di Inggris saat itu, dimunculkan oleh Henry Peach Robinson dan Oscar Rejlander, dengan menerbitkan buku berjudul “Pictorial Effect in Photography”. Untuk memperkuat mazhab, dengan nama Linked Ring yand didirikan di Ingris tahun 1891. Gaya piktorial saat itu menjadi trendseter di eropa, kemudian ditawarkan pada publik di Amerika oleh Stieglitz dengan kemasan yang ia namai Photo-Secession, di New York. Hingga tahun 1910 puncak supremasi photo-secession , dengan menggelar pameran “International Pictorial Photography” di Albrigth Gallery, Buffalo, New York. Stieglitz berkeyakinan bahwa piktorial mampu mengangkat gengsi fotografi sebagai bentuk seni, yang patut disandingkan dengan medium seni rupa dan patung. Bertahun-tahun kemudian, bapak seni modern fotografi ini melihat, bahwa gaya piktorial tidak lagi bisa menjawab gairah seni fotografi di Amerika, maka tahun 1917 galeri Photo-Secession yang pula disebut “291” ditutup, berganti menjadi An American Place. Bersama-sama Edward Steichen dan Paul Strand, menggelorakan aliran “Straight Photography” sebuah genre baru, melalui pameran bersama ditahun 1926. Aliran ini sebenarnya jauh hari telah ditawarkan oleh Peter Henry Emerson tahun 1885, melalui bukunya “Naturalistic Photography for Students of the Art” publikasi ini memang adalah bentuk perlawanan terhadap gaya piktorial yang menyamarkan makna foto, menganggungkan bongkah kosmetik tanpa menyentuh dibalik foto.

Bentuk perlawan yang digelorakan Stieglitz adalah mencoba mengubah paradigma, bahwa fotografi adalah salah satu bentuk ekspresi seni, yang layak disandingkan dengan bentuk seni lainya. Keberhasilan Stieglitz, ditandai dengan diakuinya karya fotografi ini hadir dipamerkan di gallery nasional di Amerika, bahkan tercatat di galleri Modern Art dan Metropolitan Museum, pada tahun 1933. Membuktikan bahwa semenjak itulah fotografi sebagai bagian dari budaya visual di Amerika.

***

Bagaimana di Indonesia? Adakah gemuruh gerakan perlawanan, agar fotografi pantas untuk disandingkan dengan karya lainya?. Baiknya melihat kembali ke belakang, semenjak fotografi hadir di bumi nusantara ini, yang diperkenalkan oleh para petualang yang ingin mengecap suksesnya kolonialisasi di Hindia-Belanda, pada waktu itu pemerintahan kolonial menggunakan fotografi sebagai alat dokumentasi penelitian dan perdagangan, menggantikan teknik litografi. Hingga pertama kalinya, Jurrian Munich (1817-1865) tiba di Batavia tahun 1841, atas undangan gubernur jenderal Hindia-Belanda, untuk memotret cagar budaya dan karya jejak kolonial di daerah administrasi Jawa Tengah, untuk memberitahukan kepada dunia, akan keberhasilan dan superior bangsa penjajah. Semenjak itulah, hingga tahun 1939, penguasaan teknis perekaman didominasi bangsa kolonial. Meskipun ada pula bangsa pribumi yang mempunyai akses, hanya beberapa saja yang tercatatkan, diantaranya Kasian Cephas, aktif memotret di dalam keraton Yogyakarta dari tahun 1872 hingga 1912, dan dilanjutkan oleh putranya Sem Cephas. Hingga pada masa itu, fungsi fotografi sebatas untuk mendukung dokumentasi pengetahuan alam, antropologi dan arkeologi. Kemudian sejak tahun 1888 saat Kodak di Amerika merubah konsep teknik pemotretan, lebih ringkas dan mudah. Maka di nusantara pun dikenalkan media rekam permanen negatif kertas gelatin, penggati metode wet plate menjadi dry plate.

Kemudahan yang ditawarkan Kodak, turut pula menyuburkan dan menggeser fungsi fotografi bukan sekedar sebagai fungsi studi, kemudian diterapkan dalam dunia bisnis. Maka bisa dikatakan, bahwa titik seni fotografi dimulai, saat itu pula amatir terjun dalam kancah fotografi di Hindia-Belanda. Sebutlah warga keturunan Armenia, Ones Kurkdjian yang membuka studio komersial dan membuka sekolah fotografi pertama di Surabaya tahun 1884. Bentuk ragam jasa kreasi fotografi yang ditawarkan adalah sebatas layanan foto portrait artisitik gaya pose yang masih populer di Eropa, yang dilanggengkan oleh gerakan piktorial di Inggris. Jasa layanan lainya yang paling populer adalah cartes-de-visite. Bentuk cetakan fotografi, ukuran 6 x 9 cm, yang direkatkan pada kertas tebal, dengan tertera nama firma atau fotografer dengan tulisan yang sangat elegan, baik itu dibalik foto maupun di bagian depan. Gaya foto pun disesuaikan dengan semangat dan kepentingan kolonialisasi masa itu, bisa berupa gambar kaum pribumi maupun bentangan alam dan bangunan, menandakan keberhasilan penjajah. Karya seperti ini merupakan tropi kemenangan kaum imperialis atas penaklukan daerah kekuasaannya, maka pendekatan bentuk dan gagasan gambar yang dihadirkan harus yang indah-indah saja.

Inilah seni fotografi menurut kepentingan penjajah. Disebut Mooi-Indie kemudian diadopsi secara sistematis oleh perkumpulan fotografi amatir pertama di Weltevreden, Batavia (sekitaran Jakarta kota) tahun 1923, setelah perang dunia pertama. Perkumpulan ini dinamai Eerste Nederlandsch Indische Amateur Fotografen Vereeniging (ENIAFV) dan menyelenggarakan kontes foto salon internasional pertama. Kemudian salon foto ke-dua dilaksanakan oleh Preanger amateurfotografenclub (perkumpulan fotografer amatir) di Bandung tahun 1925, sekaligus tonggak kelahiran Preanger Amateur Forografen Vereeneging. Nuansa piktorial sangatlah kental, dengan mengusung tema mooi-indie. Langgam seni ini menekankan pada sisi keindahan dan eksotika an sich. Malahan Trisno Sumardjo bapak seni lukis Indonesia menyatakan “Semua serbabagus dan romantis bagai di surga, semua serbaenak, tenang dan damai. Lukisan-lukisan tadi tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi-indie.”

Demikian gejolak dinamika yang terjadi pada gerakan seni lukis, pada tahun 1937, Sudjojono bersama kawan-kawan mendirikan Persagi, Persatuan Ahli Gambar Indonesia. Sudjojono adalah tokoh besar fotografi, yang menggelorakan semangat perjuangan kaum pribumi, pada masa pergerakan nasional dan polemik kebudayaan tahun 1930-an. Upaya gerakan ini bertujuan mengembalikan karya seni sebagai representasi realisme kerakyatan, yang selama ini tidak pernah disentuh. Itu yang terjadi pada seni lukis dan fotografi yang diusung oleh seniman warga Eropa yang menggemari kemolekan Hindia Timur, yang berkutat pada keelokan lanskap tropis, kecantikan perempuan berkulit cokelat dan rupa-rupa keindahan duniawi. Tidak pernah ada rupa yang dihadirkan mengenai penderitaan sesungguhnya kaum bumiputera dibawah kendali imperialisme.

Bagaimana dengan babak berikutnya fotografi di Indonesia? Benarkah bahwa fotografi tidak pernah berpihak pada perlawanan rakyat terhadap kolonialisme?, bahkan menelusuri karya Cephas pun, nyaris tidak ada yang menggelorakan semangat ini. Belumlah ada data khusus yang bisa menyimpulkan bahwa pernah ada gerakan anti Mooi-Indie untuk fotografi, namun seiring kemerdekaan, hanya Frans F. Umbas, Alex I. Mendur, J.K. Umbas dan A. Mamusung melalui IPPHOS menggunakan fotografi sebagai bahasa komunikasi visual untuk perjuangan kemerdekaan. Setelah itu, warisan gaya ini masih dipelihara, hingga lahirlah Gaperfi atau Gabungan Perhimpunan Foto Indonesia. Meskipun hidup satu tahun, namun menjadi harapan dan cikal bakal untuk membentuk Indonesian Photography Society. Maka lahirlah Federasi Perkumpulan Senifoto Indonsia, disingkat FPSI, tahun 1973, dengan agenda menyelenggarakan foto salon tiap tahun, hingga kini melanggengkan seni fotografi piktorial.

Apakah ada yang salah dengan bentuk pilihan seperti ini? tentu saja tidak, namun bila Stieglitz lahir di Indonesia, maka ia akan mempertanyakan kembali gaya berkesenian fotografi Indonesia. Hanya dengan begini mungkin fotografi Indonesia akan mengalami plurarisme, yaitu akan lahir ragam gaya ekspresi seni fotografi sebenarnya. (denisugandi@gmail.com)

No comments:

Post a Comment