Monday, August 23, 2010

MENGGUGAH RUANG APRESIASI FOTOGRAFI, Pertemuan Ongkoss, 23 Agustus 2010

Ruang petak pulas hijau itu kini menjadi ruang diskusi. Tumpukan buku yang rindu untuk dibaca kemudian jadi tantangan buat siapa saja yang menyapanya. Ruang inilah yang ditawarkan Dadang Jauhari, leader Republic of Entertainment, untuk dinikmati bersama. Apalagi kalau bukan ruang Wawan Juanda (Alm) library, teritorial gudang ilmu yang didedikasikan untuk ruang publik komunitas kreatif. Kesempatan ini disambar forum diskusi fotografi ONGKOSS, dalam perbincangan “Ruang Apresiasi Fotografi” untuk pertemuan bulan Agustus.

Seperti biasa, entah itu jadi trend. Waktu di kota Bandung serasa penuh dengan norma-norma toleransi yang sangat tinggi sekali. Terlambat itu bukan lagi dalam hitungan detik-menit, namun jam. Hal biasalah, malah aneh kalau tepat waktu. Begitu juga dengan waktu undangan pada kegiatan forum diskusi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS, pertemuan bulan ke-tiga, hari senin, 23 Agustus 2010. Pukul empat ternyata harus kalah dengan produsen karet, akhirnya jam lima adalah angka negosiasi yang pas. Satu persatu partisipan hadir, sebutlah Sjuaibun Iljas dan Iwan Santosa selaku dosen fotografi. Riadi Raharja, Agus Wahyudi, Tisna Prabasmoro, Argus, Sandy Jaya Saputra, Eki Qushay Akhwani, Roni, Galih Sedayu dan Mia Damayanti. Acara dibuka oleh Deni Sugandi, melemparkan topik diskusi, yaitu menyoal ruang apresiasi fotografi di Bandung.


Ruang apresiasi yang dimaksud, bukan berupa bentuk fisik ruang pamer saja, melainkan bisa berupa ruang adu wacana, ruang diskusi, ruang baca, ruang presentasi ataupun ruang di dunia maya sekalipun. Kembali membatasi berbicara seputar ruang pamer-foto, di Bandung, Mia Damayanti telah membuktikannya, bahwa banyak ruang alternatif yang ada. Seperti pada pamerannya di sebuah café di jalan Bagusrangin, dalam pameran karyanya “Jazz-Poster & Post it” tanggal 11 Juli hingga 7 Agustus 2010 lalu. “Malahan dari pihak café pun tidak memungut biaya dan ketentuan-ketentuan khusus, yang misalnya harus menghadirkan orang pada acara pameran ini” jelasnya. Sebutlah, ruang alternatif seperti ini begitu banyak hadir di kota Bandung, yang konon kota kuliner, yang menandakan masyarakatnya sangat komsumtif. Entah itu di dalam kota, hingga kepuncak-puncak bukit pinggiran kabupaten Bandung utara. Mia Damayanti sangat bersukur diberi kebebasan, bisa mengapresiasikan karyanya di ruang publik-komersil ini. Tidak seperti sebuah café di Cikapayang Dago, yang memang membranding dirinya sebagai ruang apresiasi pamer karya foto, menyebut namanyapun “sangat fotografi” namun sayang sekali, pemiliknya tidak berupaya mengapresiasi karya foto. Sebut sajasalah satunya, pameran karya kawan-kawan dari kampus Unisba, dengan tajuk “Panggung Selebrasi” yang dipamerkan di café tersebut, dari tanggal 8 hingga 10 Mei 2010. Sungguh sangat prihatin, tata letak dan cara penyajiannya membunuh karya foto tersebut. (lihat artikelhttp://denisugandi.blogspot.com/2010/05/momen-artifisial-catatan-pameran.html). Jelas membuktikan, ruang alternatif tersebut kadang bisa menjadi buruk.


Sandy Jaya Saputra, yang biasa dipanggil Useng, mengungkapkan, bahwa karya pun tidak melulu harus hadir di ruang seperti itu. Dalam garapannya bersama kawan-kawannya di Brigadephoto#, ruang garasi belum jadipun bisa menjadi ruang apresiasi. (lihat Just Kick The Wall) Semuanya berpulang pada konsep apa yang hendak dibangun dan komunikasi apa yang akan disampaikan.

Berpameran karya fotografi, tentunya tidak begitu saja terjadi, selain gagasan, bentuk sajian dan promo, namun hal terpenting adalah mengkomunikasikan ide kreator. Disinilah dibutuhkan seorang kurator, menyambung lidah dari karya pameran ini pada publik. Karena ketika dihadirkan diruang publik, tentunya menjadi konsumsi penikmat foto. Komentar baik maupun buruk, akan berpulang kepada publik itu sendiri. Jadi berpameran itu adalah bentuk tanggung jawab karya. Mengapa harus berpameran?


Pasti ada alasan khusus, bila tidak mempunyai motivasi, buat apa menghabiskan dana, waktu dan tenaga. Dilihat dari motifnya, pameran dilaksanakan karena ingin mengkomunikasikan karya kepada publik. Sejatinya fotografi itu adalah mengkomunikasikan. Bila tidak ingin dihujat, dikritik, saran yang terbaik adalah narsis dibalik layar monitor komputer. Kemudian selain itu sebagai sarana untuk “jualan” Perlakuan seperti ini sering terjadi di dunia fotografi komersial, entah itu penjualan lansung karya tesebut maupun bersifat benefit, menjual citra fotografer itu sendiri.

Berikutnya bisa sebagai penanda karir, atau dalam dunia profesi pekerja seni fotografi, konsistensi berkarya adalah penting, sehingga bisa menandai hasil karya lalu dengan karya berikutnya. Motivasi lain bisa juga sebagai mencari jejaring dan branding. Bagi pekerja seni fotografi, bentuk ciri karya individual akan menjadi benda koleksi. Hal ini hanya terjadi di ruang gallery, lengkap dengan kurator sebagai “penjaja karya” pada publik. Selebihnya adalah bentuk aktualisasi diri. Bentuk kontemplatif ini bisa disebut sebagai mengajak penikmat foto menyelami suatu persoalan. Bahasa yang bisa dimunculkan adalah opini si kreator yang bersangkutan. Bila komunikasi visual tersebut dimengerti penikmat foto, maka karya tersebut tidak penting lagi.


Kembali pada ruang apresisasi pameran karya. Sepakat dikatakan bahwa ruang pamer alternatif seperti ini ada. Yang jadi persoalan adalah kehendak dari si kreator tersebut menggelar karyanya. Menurut Tisna Prabasmoro, ada dua kemungkinan, apakah karena tidak tahu bagaimana tata cara berpameran, atau tidak mempunyai keberanian. Galih Sedayu menimpali, untuk urusan manajemen pameran, ia pun telah mengusahakan bersama kawan-kawan yang lain. Dalam catatannya nyapun ia pernah membantu, diataranya pewarta foto Andri Gurnita, menyelenggarakan pameran foto di Gedung Indonesia Menggugat setahun lalu. Jadi untuk organising dan manajemen pameran pun sudah ada yang melakukannya.


Untuk masalah keberanian, Sandy melihat seharusnya dunia pendidikan; penyelenggara pendidikan atau pendidiklah yang seharusnya lebih bertanggung jawab. “Inilah fotografi Indonesia” ucap Ray Bachtiar pada kesempatan pertemuan Ongkoss sebulan lalu, menyikapi kondisi kekinian, fotografi di Indonesia. Pada akhirnya masalah ini menjadi beban bersama, karena aktifitas karya fotorgrafi yang dikomunikasikan pada publik itu adalah bentuk kedewasaan budaya kita. Pada ujungnnya, geliat fotografi di kota Bandung yang seharusnya lebih merangsang, kini kehilangan nafsunya. Karena keberanian berpameran itu bukan agenda penting lagi bagi sebagian penghasil karya visual fotografi di Bandung. Karena pilihan tersebut memang tidak pernah ada. Kenapa? (denisugandi@gmail.com)

Pendidikan Fotografi Mau Kemana?

Oleh: Asep D. Iskandar.


"Apa yang diajarkan di dalam ruang-ruang sekolah ternyata telah melahirkan man usia-man usia pengecut yang tidak berani mengambil resiko, yang puas menjadi pekerja atau budak, dan tidak ingin untuk mencapai sesuatu yang lebih. Sekolah-sekolab kita telah mengungkung kreativitas dan mematikan keberanian." H.A.R. Tillar; 2002, 103.

Perbincangan tentang dunia pendidikan hanyalah berupa wac ana yang tiada berujung. Perjalanan bangsa pasca reformasi, temyata tidak membuahkan perubahan yang berarti dalam bidang pendidikan bahkan institusi pendidikan secara kualitas dalam kondisi terpuruk. Penyelenggaraan pendidikan pada awalnya diharapkan dapat mendorong terjadinya perubahan watak, mampu menciptakan individu-individu yang berfikir kritis, dan wahana untuk mencapai kemerdekaan. Tujuan yang begitu mulia justru diabaikan demi untuk sebuah kepentingan lain. Pendidikan kini dijadikan komoditi yang sangat menguntungkan sehingga berimplikasi pada proses mesin kekuasaan yang besar.

Manajemen sebagai pengelola praxis pendidikan untuk menghasilkan keluaran (output) yang berkwalitas itupun tidak bisa berbuat banyak karena masih bersifat satu arah. Penyelenggaraannya mengikuti pola-pola terstruktur dan ditentukan dari atas, diatur oleh undang-undang dan peraturan. Cara-cara yang otoriter, sentralistik, dan tidak memberi ruang¬ruang altematif lain sehingga cara-cara pengelolaan berjalan secara tradisional tanpa perubahan. Hal tersebut berujung terjadinya arogansi baik bagi pengelola pendidikan maupun para pengajar. Sebagai bagian dari kekuasaan yang besar mengharuskan peserta didik, orang tua, dan masyarakat harus mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku dan mereka diposisikan sebagai objek belaka. Peserta didik yang bersentuhan langsung dengan institusi diharuskan memenuhi kewajibannya sedangkan hak-haknya terabaikan. Arogansi yang begitu melekat akan membawa dampak bagi psikologi peserta didik yang pada akhimya mereka menjadi tertekan. Tentunya masih melekat pada ingatan kita kisah Herianto asal Garut anak 12 tahun mencoba bunuh diri karena tertekan gara-gara ditagih iuran SPP di tengah-tengah pelajaran berlangsung.

Perubahan jaman dan perkembangan teknologi berdampak pula pada perubahan kurikulum, setidaknya pendidikan tidak ketinggalan terlalu jauh. Tetapi pada kenyataannya perubahan kurikulum hanya menjadi penambahan jumlah mata kuliah yang menjadi beban peserta didik, bukan pengembangan kualitas isi, dan penerapan kurikulum hanya menjadi jargon-jargon tanpa makna serta dalam implementasinya benar-benar melempem. Setidaknya dari semua permasalahan-permasalahan terse but menjadi gambaran kondisi pendidikan bangsa ini. Kayaknya institusi pendidikan harus mencoba untuk berbenah diri, mengevaluasi, merevitalisasi, dan mangembalikan makna pendidikan kepada tujuannya.

"Pendidikan Akademik Fotografi" ?
Di penghujung Juli 2003 bertempat di Galeri Kita ada perbincangan yang menarik antara kawan-kawan mahasiswa lSI Jogjakarta dan Unpas. Perbincangan tersebut diawali dengan adanya opini Arif E. Suprihono yang dimuat di Majalah Foto Media bulan April bertajuk "Gelar Akademik dan Pekerja Fotografi". Tulisan tersebut bukan saja menjadi perbincangan bahkan saya mengirim tanggapan ke majalah tersebut yang tidak pemah dimuat karena keburu majalah tersebut bangkrut. Dalam pertemuan lain antara alumni yang sukses berbagi pengalaman dengan mahasiswa. Alumni itupun bingung ketikaada pertanyaan "apa yang membedakan antara fotografer otodidak bahkan sukses dan fotografer akademik?". Dalam kebingungannya dia

menjawab yang membedakan hanyalah gelar akademik yang disandang dan karya-karya fotografi yang dibuat terlahir dari sebuah ide, konsep atau apapun namanya.

Dari judul dalam opini Arif tersebut merupakan penanda bahwa lulusan bergelar sarjana yang lahir dari sebuah institusi pendidikan tinggi fotografi lSI Jogjakarta dipersiapkan untuk menjadi para pekerja fotografi atau celoteh kawan-kawan mahasiswa sebagai tukang motret. Lantas bagaimana dengan lulusan serupa dari institusi fotografi di Bandung, Jakarta, dan Bali? Penanda tersebut diperkuat lebih lanjut dalam isi opini yang menyatakan bahwa; "Sebagai mana diketahui oleh banyak pekerja fotografi, bahwa pada akhimya pendidikan strata satu fotografi masih cenderung bermuara pada tiga jenis pembidangan kerja; yakni pendidikan minat utama fotografi komersial, fotografi jumalistik, dan fotografi eksperimental (fine art)".

Pandangan tersebut sangatlah wajar karena institusi pendidikan masih mengacu pada paradigma lama. Pada akhimya institusi masih mengembangkan pola untuk mencetak tenaga¬tenaga kerja terampil dengan gelar sarjana. Dapatlah dikatakan istitusi pendidikan telah masuk dalam perangkap kapitalis yang membutuhkan tenaga kerja atu budak. Sangatlah wajar jika kemudian melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak berani mengambil resiko dan puas menjadi pekerja. Sebelum lebih jauh membahas hal ini mari kita lihat lagi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan.

Ilustrasi peraturan tersebut mengisyaratkan kita tentang jalur pendidikan yang dibagi dalam dua wilayah; pertama pendidikan akademik yang mengarahkan peserta didik pada penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya. Dengan memilih jenjang pendidikan tersebut diharapkan mahasiswanya untuk menggali keilmuan dan" memberikan konstribusi bidang keilmuan pada masyarakat. Jadi jenjang ini bukan hanya dicetak menjadi tenaga praxis tetapi sebagai diimbangi dengan penggalian dan pengembangan keilmuan. Sedangkan yang kedua jalur pendidikan profesional yang mengarahkan pada kesiapan menerapkan keahlian bidang tertentu secara profesional dalam hal ini bidang fotografi.

Penerapan peraturan terse but di setiap institusi umurnnya menjadi terbalik. Jenjang pendidikan strata satu (Sl ) mengarahkan para peserta didiknya untuk menjadi tenaga-tenaga yang terampil tanpa diarahkan untuk menggali keilmuan lebih jauh. Hal inilah yang kemudian pendidikan fotografi dianggap stagnan, mandul, bahkan dituding menambah terpuruknya fotografi sebagai media apresiasi. Institusi pendidikan kerap masih berkutat pada persoalah teknis sebatas dunia rekam dari hubungan cahaya dan objek. Kalaupun terdapat muatan ide biasanya muncul dalan penentuan subject-matter, atau pencitraan lewat pilihan terhadap permainan sudut pandang - cahaya - keeepatan. Wajar jika kemudian muncul kegelisahan peserta didik dan masyarakat sebagai stakeholder mempertanyakan kembali pendidikan fotografi Indonesia mau kemana? Hal tersebut terungkap pula dalam seminar nasional bertajuk "Standarisasi Pendidikan Fotografi di Indonesia" dalam rangkaian kegiatan Forum Komunikasi Mahasiswa Fotografi Indonesia yang pertama (FKMFI #1) pada 2 Maret 2005.

Jika mengacu pada jenjang pendidikan setidaknya pertanyaan tersebut sudah terjawab karena terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Namun, semuanya tergantung dari niatan dan visi institusi dalam mengembangkan pendidikan dalam konteks kompetensi profesi dan akademik. Institusi pendidikan dengan jalur akademik seharusnya dapat mengembangkan keilmuan fotografi lebih jauh muneulnya paradigma baru di dunia fotografi. Pada saat yang sarna kemuneulan institusi pendidikan dapat memberikan alternatif barn dalam proses peneiptaan seni visual. Hal tersebut bisa terjadi jika institusi termasuk pengelola dapat mengembangkan kurikulum melalui berbagai pendekatan dalam proses belajar mengajarnya. Salah satu contoh pendekatan yang dapat digunakan dengan teori pendidikan seni Disipline-Based Art Education (DBAE). Dengan teori DBAE fotografi dapat diajarkan secara efektif melalui intregrasi makna empat dasar disiplin seni yaitu, peneiptaan seni (artistic creations, sejarah seni (art history), tinjauan/kritik seni (art criticism). dan estetikalfilsafat (aesthetic). (Soeprapto:2002).

Metode integrasi dapat menunjang tercapainya kompetensi fotografi dan tereiptanya insan¬insan fotografi di bidang yang diminatinya baik itu pakar teoritis maupun tenaga praxis. Sebagai pakar teoritis para peserta didik akan dibekali dengan konsep dan wawasan yang meliputi berbagai istilah atau jargon terminologi, kumpulan-kumpulan nilai-nilai dan pemahaman logika terhadap semua unsur yang terkandung dalam khasanah fotografi. Sedangkan aspek praxis meliputi berbagai aktifitas keterampilan dan pendayagunaan proses penciptaan dalam penampilan imaji visual fotografi, Kedua bidang tersebut tentunya dapat tercipta jika adanya suatu formula pengajaran yang tepat sebagai alat atau sistem dan metode dalam proses "trannsfer of knowladge". Walaupun kedua bidang tersebut menjadi pilihan para peserta didik namun keempat dasar disiplin ilmu harus tetap terintegrasi dengan baik. Dengan demikian peserta didik dapat menguasai materi ajamya secara singkron dengan aspek disiplin lainnya.

Jadi kaum akademis bukan semata-mata hanya menjadi sarjana fotografi yang- hanya memilih ketiga bidang kerja yang .diarahkan pada pendidikan minat di dunia komersil, jurnalistik, dan eksperimental. Institusi ini harus mampu mencetak sarjana-sarjana berkualitas yang menghasilkan karya, ide, dan teori yang bisa menjadi paradigma baru dalam dunia fotografi. Institusi setidaknya harus meneetak manusia-manusia yang berani mengambil resiko dalam hidup. Jika masih berkutat pada hal-hal teknik, kecanggihan kamera, atau memotret seindah warna aslinya (kayak iklan) maka institusi pendidikan fotografi menjadi mandul.

Rujukan:
Iskandar, Asep Deni, Pendidikan Fotografi Mau Kemana?, Pers Kampus JUMPA, Universitas Pasundan, edisi Juni 2005.

Fieldman, Edmun Burke., Philosophy of Art Education, New Jersey: Prentice Hall, [nco 1996

Soedjono, Soeprapto., Teori D-B-A-E (Disipline-Based Art Education) Dalam
Pendidikan Seni Fotografi, Yogyakarta: lSI, 2002.

Catatan:
Penulis adalah pemerhati seni dan pendidikan Aktif di Lembaga Advokasi Pendidikan Kota Bandung
.

Tuesday, August 10, 2010

FORUM ONGKOSS “RUANG APRESIASI FOTOGRAFI” 23 Agustus 2010

Ibarat anak bermain bola di jalan raya, kini fotografi di Bandung dalam bahaya. Jangankan berbicara kurator fotografi atau kritikus foto, gallery fotografi yang layakpun belumlah ada. Sedih memang, yang membawa petaka. Pada akhirnya maha karya tersebut mati suri, menjadi hiasan dekoratif di jejaring sosial saja. Proses pemiskinan seperti ini seharusnya menjadi tanggung jawab bersama penyelenggara pendidikan, pebisnis foto (baca lab foto. Studio dll.) pehoby maupun tingkat amatir serius atau profesi fotogerfer. Bagaiman mana kita menyikapinya? Peran apa yang bisa kita berikan? Mari temui di acara Forum diskusi fotografi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS pertemuan bulan ketiga, tanggal 23 Agustus 2010, venue Jalan Pajajaran No. 80e (Pandu) 022.6038456, pkl. 16.00wib. (gratis) Info Deni 081322393930