Ruang petak pulas hijau itu kini menjadi ruang diskusi. Tumpukan buku yang rindu untuk dibaca kemudian jadi tantangan buat siapa saja yang menyapanya. Ruang inilah yang ditawarkan Dadang Jauhari,
Seperti biasa, entah itu jadi trend. Waktu di
Ruang apresiasi yang dimaksud, bukan berupa bentuk fisik ruang pamer saja, melainkan bisa berupa ruang adu wacana, ruang diskusi, ruang baca, ruang presentasi ataupun ruang di dunia maya sekalipun. Kembali membatasi berbicara seputar ruang pamer-foto, di Bandung, Mia Damayanti telah membuktikannya, bahwa banyak ruang alternatif yang ada. Seperti pada pamerannya di sebuah café di jalan Bagusrangin, dalam pameran karyanya “Jazz-Poster & Post it” tanggal 11 Juli hingga 7 Agustus 2010 lalu. “Malahan dari pihak café pun tidak memungut biaya dan ketentuan-ketentuan khusus, yang misalnya harus menghadirkan orang pada acara pameran ini” jelasnya. Sebutlah, ruang alternatif seperti ini begitu banyak hadir di
Sandy Jaya Saputra, yang biasa dipanggil Useng, mengungkapkan, bahwa karya pun tidak melulu harus hadir di ruang seperti itu. Dalam garapannya bersama kawan-kawannya di Brigadephoto#, ruang garasi belum jadipun bisa menjadi ruang apresiasi. (lihat Just Kick The Wall) Semuanya berpulang pada konsep apa yang hendak dibangun dan komunikasi apa yang akan disampaikan.
Berpameran karya fotografi, tentunya tidak begitu saja terjadi, selain gagasan, bentuk sajian dan promo, namun hal terpenting adalah mengkomunikasikan ide kreator. Disinilah dibutuhkan seorang kurator, menyambung lidah dari karya pameran ini pada publik. Karena ketika dihadirkan diruang publik, tentunya menjadi konsumsi penikmat foto. Komentar baik maupun buruk, akan berpulang kepada publik itu sendiri. Jadi berpameran itu adalah bentuk tanggung jawab karya. Mengapa harus berpameran?
Pasti ada alasan khusus, bila tidak mempunyai motivasi, buat apa menghabiskan dana, waktu dan tenaga. Dilihat dari motifnya, pameran dilaksanakan karena ingin mengkomunikasikan karya kepada publik. Sejatinya fotografi itu adalah mengkomunikasikan. Bila tidak ingin dihujat, dikritik, saran yang terbaik adalah narsis dibalik layar monitor komputer. Kemudian selain itu sebagai sarana untuk “jualan” Perlakuan seperti ini sering terjadi di dunia fotografi komersial, entah itu penjualan lansung karya tesebut maupun bersifat benefit, menjual citra fotografer itu sendiri.
Berikutnya bisa sebagai penanda karir, atau dalam dunia profesi pekerja seni fotografi, konsistensi berkarya adalah penting, sehingga bisa menandai hasil karya lalu dengan karya berikutnya. Motivasi lain bisa juga sebagai mencari jejaring dan branding. Bagi pekerja seni fotografi, bentuk ciri karya individual akan menjadi benda koleksi. Hal ini hanya terjadi di ruang gallery, lengkap dengan kurator sebagai “penjaja karya” pada publik. Selebihnya adalah bentuk aktualisasi diri. Bentuk kontemplatif ini bisa disebut sebagai mengajak penikmat foto menyelami suatu persoalan. Bahasa yang bisa dimunculkan adalah opini si kreator yang bersangkutan. Bila komunikasi visual tersebut dimengerti penikmat foto, maka karya tersebut tidak penting lagi.
Kembali pada ruang apresisasi pameran karya. Sepakat dikatakan bahwa ruang pamer alternatif seperti ini ada. Yang jadi persoalan adalah kehendak dari si kreator tersebut menggelar karyanya. Menurut Tisna Prabasmoro, ada dua kemungkinan, apakah karena tidak tahu bagaimana tata cara berpameran, atau tidak mempunyai keberanian. Galih Sedayu menimpali, untuk urusan manajemen pameran, ia pun telah mengusahakan bersama kawan-kawan yang lain. Dalam catatannya nyapun ia pernah membantu, diataranya pewarta foto Andri Gurnita, menyelenggarakan pameran foto di Gedung Indonesia Menggugat setahun lalu. Jadi untuk organising dan manajemen pameran pun sudah ada yang melakukannya.
Untuk masalah keberanian,