Sunday, November 14, 2010

KU LEDIS MAH CRAYING




Catatan dari diskusi Ongkoss ke-4, 13 Nopember 2010

Seorang kawan, Dadan, dalam kesempatan setiap lawatannya di suatu panggkalan jual beli kamera bekas di Cihapit, selalu berkomentar ketika menggulung layar diskusi tentang perempuan. “Ku ladis mah craying!” begitu celoteh spontannya, yang menjadi ciri khas. Merunut istilah tersebut, saya berfikir, apakah benar seangker-segarang macan, seorang laki-laki berhati Rinto Harahap? Ibarat singa pendelpop (ingat iklan sebuah eskrim) berwatak Hello Kitty? Karya fotografi empat perempuan ini bisa membuktikannya.

Banyak pajang karya yang tergantung, sesuai dengan urutan masing-masing artis fotografi. Semuanya tampak rapih, sesuai tema yang ditawarkan dalam kesempatan pameran bersama S(HE) ini, karya pameran bersama empat orang perempuan yang kembali menggunakan fotografi sebagai alat gugat yang ampuh. Beberapa karya dalam bingkai, disusun secara sistematis sesuai dengan usungan tema dan bentuk pesan dari setiap artisnya. Sebut saja, giliran mata pengunjung pertama, akan jatuh pada karya Karina, sebuah rentetan portrait, yang menelanjangi ruang “rahasia” laki-laki, yaitu kamar pribadi.

Garapan pameran fotografi bersama yang dinauingi di galeri PADI di Dago atas, dari tanggal ? hingga 13 Nopember 2010, sekaligus ditutup oleh rangkaian diskusi Ongkoss, yang meyoal tanggung jawab karya pada publik; artis talk. Dalam kesempatan ini, hadir penyaji pameran, minus Meicy Sitorus, yang berhalangan hadi, karena berada di Jakarta. Lengkap sudah, Chabib selaku penulis untuk pengantar pameran, Farisa, Karina dan Riksa. Maka diskusipun berjalan.

Seorang penanya, dalam rangkaian diskusi, “Saya ingin bertanya kepada audiens laki-laki yang hadir dalam diskusi ini. Kira-kira akan berkomentar apa? Setelah melihat karya ini” pancing seorang perempuan peserta diskusi pada forum. Sontak saja, sebuah pertanyaan yang bermnuansa “isu gender” yang memang sengaja dilontarkan. Namun sayang sekali, forum kurang kondusif. (bersambung)

Tuesday, November 9, 2010

ONGKOSS, Pertemuan ke-4, 11 Nopember 2010

PEREMPUAN SUMBER KOMODITAS FOTOGRAFI; Kenapa mereka harus berkarya?

Dalam rangkaian “artist talk” pameran empat perempuan, S(HE), Galeri Padi Bandung.

“Ketika kamera dimiliki laki-laki, secara otomatis benda tersebut berkelamin, sesuai dengan kodratnya, menyukai perempuan cantik. Meskipun fotografi kini sebagai alat yang sangat demokratis, tetap saja perempuan didudukan sebagai sumber komoditas keindahan. Apakah mereka melawan? Kenapa mereka harus berkarya?”

Dalam catatan sejarah fotografi di tanah air ini, perempuan nyaris hilang dan tidak mempunyai kesempatan yang sama dibandingkan lawan jenisnya. Pada masa kolonial, produksi fotografi yang sangat mahal nan rumit dan instrumen dengan bobot yang sangat berat, menjadi kendala bagi perempuan.

Hingga tahun 1919, seorang wanita blasteran Jerman-Perancis, dikenal Margaret Mathilde Weissenborn, yang biasa dipanggil Tante Thilly, mampu duduk sejajar dengan kaum pria. Semenjak belajar fotografi di studio komersial Kurkdjian di Surabaya, Thilly dipercaya untuk mendokumentasikan budaya dan alam Bali dan Jawa untuk kebutuhan promosi wisata oleh pemerintah Kolonial.

Tahun 1942, usaha foto Lux Fotograf di Garut dihancurkan Jepang, karena dianggap alat kapitalis.

Beberapa tahun berselang, Lip Pen Nio, pendiri studio foto komersil (Goodland) di Bandung, berdiri semenjak pendudukan Jepang, berkesempatan mendokumentasikan konferensi Asia-Afrika. Ia adalah satu-satunya perempuan yang mempunyai kesempatan yang sama dengan pria pada masa itu, sebut saja mereka yang bekerja untuk kebutuhan kantor berita, James Aditya, Inen Rusna, Paul Tedja Surja dan Oom Njoo. Bergeser era tahun 80-an, tidak lebih dari hitungan satu tangan, Desiree Harahap dan Enny Nuraheni ingin dicatatkan pula dalam sejarah fotografi Indonesia, sebagai pewarta foto perempuan.

Di Bandung, hanya satu kali pameran saja yang tercatat tahun 1996 karya tiga fotografer perempuan, di CCF Bandung, produk pendidikan di salah satu institusi fotografi modern pertama di Bandung, ISFD. Berselang tahun berikutnya, di Jakarta tahun 2003, melalui kurator fotografi Firman Ichsan dan Lisabona Rahman, tujuh perempuan menyuarakan kaumnya melalui karya pameran fotografi bersama, dengan tajuk “Mata Perempuan” yang menyoal perbedaan sudut pandang gender.

Kini, dalam rangkaian pameran fotografi bersama S(HE), yang digelar bulan Nopember 2010, lagi-lagi mengajak menyelami sudut pandang perempuan melihat lawan jenisnya; kaum laki-laki. Deretan peristiwa di atas, jelas menjadi bentuk eksistensi perempuan dalam kancah fotografi di Indonesia, ingin turut bersuara meskipun sebagai golongan minoritas.

Setelah ini, apakah perempuan tetap sebagai sumber komoditas yang sangat pas untuk diposisikan sebagai mempercantik birahi kaum laki-laki? Apa yang akan mereka lakukan? Kenapa mereka harus berkarya? Mari temui gundah gulanannya pada pertemuan diskusi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS.

Hari/tanggal

Sabtu, 13 Nopember 2010

Venue

Galeri Padi, Jl. Ir. H. Juanda no. 329. Bandung

Waktu

Pkl. 16.00 WIB s/d 17.30 WIB

Tuesday, September 28, 2010

Ada Apa Dengan Lomba Fotografi?



Pertemuan Diskusi Ongkoss bulan ke-4, Selasa 28 September 2010.


Tidak seperti pertemuan sebelumnya, yang selalu lesehan, ternyata pada pertemuan ke-4, bulan tanggal 28 September 2010, ruang rapat lantai satu, Kantor Pos Utama, menyediakan kursi rapat yang nyaman untuk diduduki. Namun bukan berarti terlena karena udara sejuk dari pendingin ruangan, tetap saja suasana hangat karena tajuk diskusi adalah membicarakan “Lomba Foto Sesat atau Mencerdaskan”.

Seperti biasa, pengantar yang diutarakan oleh Deni Sugandi, sebagai bingkai awal untuk memasuki pokok pembicaraan, tepat pukul 16.30 WIB, karena seperti biasa, waktu adalah sangat fleksibel, sehingga terlambat setengah jam serasa satu menit. Namun tidak masalah, karena tepat waktu tersebut telah hadir praktisi fotografi, pengajar, antusias fotografi, pemilik sekolah fotografi, wartawan dan pegawai negeri, diantaranya; Sjuaibun Iljas, Ricky Nugraha, Deni Sugandi, Fauzan, Igun, Tirta, Myke, Agus Wahyudi, Hasan Ridwan, Mang Atto, Deni Rahadian, Mody Afandi, Eghi Gabred, Ivan Arsiandi, Moro Sujatmiko dan Adia.

Seperti sama-sama diketahui, bahwa meraih yang terbaik, terpilih menjadi paling unggul dari sekian entri foto yang dikirimkan, disebut lomba fotografi. Syarat-syarat lomba tersebut adalah ada komposisi juri, pembatasan tema dan hadiah. Selain itu adalah kelengkapan penunjang lainnya; promosi, ketentuan khusus dan kepentingan pihak sponsor.

Ada dua jenis lomba fotografi yang biasa dilakukan, berhadiah berupa nilai rupiah dan kompensasi barang atau menawarkan gensi. Urusan gengsi, bagi pehoby fotografi menjadi penting, karena nilai yang diinginkan adalah pengakuan dari satu sistem masyarakat fotografi, katakanlah misalnya Salon Foto Indonesia, sebagai tanda pencapaianya adalah pemberian gelar penghargaan, bukan rupiah. Untuk pilihan lomba yang memberikan iming-iming kompensasi bentuk hadiah, biasanya banyak sekali diselenggarakan, baik itu tingkat lokal maupun nasional. Mulai dari lomba yang diselenggarakan oleh pemerintah tentang jargon-jargon pariwisata, produk baru dari perusahaan hingga layanan jasa asuransi dan penerbangan, masing-masing berlomba menarik minat antusia fotografi. Dari nilai kompensasi ratusan ribu rupiah, hingga belasan, bahkan puluha juta. Mulai dari berhadiah kamera atau laptop, hingga berhadiah plesir wisata keluar negeri. Siapa yang tidak tergiur dengan iming-iming seperti itu? Bentuk lomba seperti ini paling banyak dan disukai, baik itu dari kalangan pemula, atau yang sudah lama menekuni fotografi. Dalam diskusi kali ini, Riadi Rahardja menyatakan bahwa lomba seperti ini penting bagi pemula,karena menunjukan taraf pencapaian, semacam barometer untuk menakar tingkat kemahiran teknis dan konten. Berbede dengan pendapat Moro Sujatmiko, yang juga antusias fotografi dan ketua Paguyuban Analog dan Kamera Kolot Bandung/PANAKOL, menyatakan bahwa, ketika tujuan untuk “mengukur kemampuan” bila diembel-embeli motivasi ingin mendapatkan kompensasi hadiah, maka karya tersebut menjadi tidak penting lagi. “Justru bila inginnya menang, karya tersebut hanya sebaga alat saja” ungkapnya.

Bagi Sjuaibun Iljas, dosen dan praktisi fotografi, menyatakan bahwa dalam lomba seperti inipun bisa membuka peluang praktek-praktek perkeliruan, misalnya merekayasa juara, untuk tujuan pengayaan pribadi atau kelompok. Ia mencontohkan lomba foto yang diselenggarakan di luar negeri, Ia mendapatkan informasi bahwa, juri terlibat dengan nepotisme, menyatakan juara yang memang masih kerabatnya. Benar atau tidak fakta seperti itu, ini memberikan gambaran bahwa lomba pun bisa menjadi sangat rentan dengan praktek-praktek seperti ini, apalagi memperebutkan keuntungan material. Hal ini terjadi karena keputusan juri tidak bisa dinganggu gugat lagi, baik itu dalam proses penilaian atau setelahnya.

Pilihan entri oleh juri selalu dinyatakan mutlak, maka disebut sebuah keputusan yang sepihak dan absolut. Dalam kesempatan ini, Adia mengusulkan bahwa penjurian tersebut seharusnya tidak seperti itu, juri harus bisa mempertanggung jawabkan pilihannya melalui dialog, kalau perlu dinyatakan dalam bentuk forum diskusi. Dengan demikian partisipan yang mengikuti kegiatan lomba ini bisa mendapkan argumentasi dari pihak juri.

Juara adu gambar ini tentunya diserahkan sepenuhnya pada dewan juri, yang dipilih berdasarkan kredibilitas dan kompetensinya, untuk tujuan lomba tersebut. Dewan juri tersebut dipilih dari kalangan yang mengerti etik dan aestetik bahasa visual fotografi. Komposisi juri bisa berasal dari pihak sponsor yang tahu persis keinginan rupa dan bentuk gambar, untuk kepentingan promosi pihak sponsor tersebut.

Boleh disimpulkan bahwa hanya foto tertentu saja, sesuai dengan harapan juri, yang bisa melenggang menjadi unggulan. Juri akan berpedoman pada tema. Pembatasan tema akhirnya menjadi sangat penting sekali. Bayangkan bila lomba foto dibuka sebebas-bebasnya, layaknya kompetisi fotografi yang pernah diselenggarakan oleh salah satu majalah nasional, Photo of The Month, versi majalah fotografi dan video, yang dijuri oleh Arbain Rambey, Ray Bachtiar, Dedy Irvan dan Peter Fabian. Begitu banyak karya foto yang masuk dari beragam genre, kemudian juri memilah dan memilih karya untuk menjadi tiga besar. Mudah sekali ditebak, beberapa karya yang masuk mempunyai bentuk dan gagasan nyaris sama setiap bulannya, sama seperti trend yang lagi banyak disukai.

Lantas untuk apa lomba diselenggarakan? Bagi pihak sponsor penyelenggara lomba, kegiatan seperti ini sangat menguntungkan, diantaranya bisa di “attach” sebagai pendukung event. Jadi lomba fotografi masuk dalam rangkaian acara, dengan tujuan meramaikan acara, bisa juga lomba foto ini berdiri sendiri, dengan tujuan mengkomunikasikan pilihan produk kepada masyarakat melalui karya. Hasil lomba tersebut biasanya diterbitkan dibeberapa media tulis, dengah harapan, pembaca dapat mengerti jenis dan produk yang ditawarkan pihak sponsor tersebut.

Hal yang sangat menguntungkan secara ekonomi bagi pihak sponsor adalah mencari beberapa ragam fotografi untuk kebutuhan promosinya. Melalui lomba fotografi, pihak sponsor akan mendapatkan ragam bentuk dan gagasan fotografi yang bervariasi. Bahkan untuk tingka nasional, jumlah foto bisa muncul dalam jumlah yang fantastis, hingga ribuan foto. Karya yang terpilih kemudian digunakan untuk kebutuhan media cetak komunikasi; poster, kalendar, ilustrasi majalah in-house dan sebagainya. Ini adalah cara yang paling murah dan mudah, dibandingkan mempekerjakan profesioanal fotografer.

Kembali pada sesat atau tidaknya, lomba itu bermata dua, untuk pemula bisa mengasah kemampuan, sekaligus sebagai barometer, disisi lain, bila tujuannya adalah pemenuhan keuntungan sesaat, mencari keuntungan finansial misalnya, tentunya karya tidak penting lagi. Fotografer yang menyertakan karyanya akan berlomba untuk “mengakali alias adu cerdik” sesuai dengan selera juri, begitu komentar Kinkin Panenthe, dalam komentarnya di salah satu jejaring sosial. Bahkan bukan rahasia umum lagi, disalah satu klub tua fotografi di Bandung dengan genre piktorial, mencari tahu terlebih dahulu siapa juri yang diberikan kesempatan untuk memilih. Maka tidak mengherankan, beberapa karya yang terpilih bisa diprediksi sebelumnya; sesuai selera dewan juri.

Tentu saja komposisi juri menjadi sangat penting sekali. Beberapa lomba fotografi yang pernah diselenggarakan oleh salah satu penyelenggara event lomba di Bandung, kini memasukan format juri dari kalangan pewarta foto, editor surat kabar dan kurator galeri. Latar seperti ini, tentu saja memberikan sudut pandang yang lain, meskipun sempat mendapatkan keluhan dari “pemain lomba” yang biasa melihat karya, saya pinjam istilah dari Adia adalah lomba foto “beauty”, Galih Sedayu selaku pelaksana lomba, menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar, ada “tatanan penilaian lain” yang dicoba ditawarkan.

Sesat atau tidak, pada akhirnya itu menjadi pilihan sikap. Boleh dikatakan bahwa lomba fotografi itu adalah cerminan intelektualitas budaya visual masyarakat kita. Semakin homogen dan itu-itu saja ragam bentuk dan gagasan karya yang disertakan, bisa dianggap ukuran kecerdasan bangsa kita. Sejatinya, untuk mengapresiasi karya, ajang lomba fotografi bukan hanya satu-satunya pilihan untuk berkarya, namun akan lebih elegan bila karya tersebut dihadirkan diruang publik, melalui gelar karya, pameran karya, biarlah publik yang mengapresiasi, bukan dewan juri yang terhormat.

Pada akhirnya fotografi adalah sebagai kontrol sosial, bukan sebagai alat pengantar komoditas untuk mendapatkan nilai rupiah. Baik atau buruknya, saya kembalikan kepada para petualang lomba fotografi, perlu atau tidak, itulah adalah pilihan. (denisugandi@gmail.com)

Friday, September 24, 2010

LOMBA FOTOGRAFI; MENCERAHKAN ATAU MENYESATKAN?

Pertemuan Diskusi Ongkoss bulan ke-4, Selasa 28 September 2010.

Lomba foto sejatinya adalah adu gambar, membadingkan foto satu dengan yang lainnya. Karya tersebut akan terpilih bila mempunyai ragam rupa dan gagasan yang berbeda dengan pilihan entri yang terlalu banyak diterima.

Agar tidak bias, gelar lomba tersebut biasanya dibingkai oleh topik atau tema tertentu, untuk membatasi ruang gerak pesan yang disampaikan, bahkan lomba foto tersebut disesuaikan dengan “pesananan sponsor” penyelenggara lomba.

Lomba yang hadir di negeri ini didominasi dengan embel-embel sejumlah rupiah, bahkan beberapa penyelenggaraan lomba, dari tingkat pelajar, mahasiswa hingga umum nasional, panitia menyediakan jumlah uang yang sangat fantastis, dari belasan hingga puluhan juta! Tidak seperti lomba foto yang mengejar prestise (lihat Photography on the move-PR dan Salon Foto Indonesia) bentuk lomba seperti ini membuka peluang berharap meraih keuntungan finansial, bahkan bagi beberapa orang, lomba foto seperti ini dianggap sebagai sandaran hidup-sumber penghasilan finansial, yang disebut pemburu hadiah.

Apakah lomba foto kini telah kehilanga maknanya? Embel-embel “Rupiah” menjadi cita-cita, sehingga karya sejati harus lebur digerus kompromi tema tertentu? (baca: tema pesanan) Betulkah pembatasan tema dalam lomba turut pula memandulkan ruang geraka apresiasi imajinasi? ataukah sebaliknya? Mencerahkan atau proses pembodohan yang sistematik? Mari kita kupas bersama-sama, secara elegan di ruang diskusi bersama Omong Kosong Sore-Sore, pertemuan bulan ke-empat.

Hari/tanggal

Selasa, 28 September 2010

Waktu/tempat

Pkl. 16.00 – 17.00 WIB, tempat: KANTOR PUSAT POS INDONESIA, Jalan Cilaki 73 Bandung, Ruang rapat lantai 1 (dekat tangga pintu utama/penerima tamu)

Tentang Onkoss

Forum apresiasi fotografi yang lahir tanggal 7 Juni 2010 di Bandung. Ruang bersama ini digagas dianggap perlu untuk berdialog, sekaligus untuk mengupas persoalan-persoalan seputar fotografi untuk fotografi itu sendiri.

Untuk informasi dan konfirmasi:

081322393930, denisugandi@gmail.com

GRATIS!

Monday, August 23, 2010

MENGGUGAH RUANG APRESIASI FOTOGRAFI, Pertemuan Ongkoss, 23 Agustus 2010

Ruang petak pulas hijau itu kini menjadi ruang diskusi. Tumpukan buku yang rindu untuk dibaca kemudian jadi tantangan buat siapa saja yang menyapanya. Ruang inilah yang ditawarkan Dadang Jauhari, leader Republic of Entertainment, untuk dinikmati bersama. Apalagi kalau bukan ruang Wawan Juanda (Alm) library, teritorial gudang ilmu yang didedikasikan untuk ruang publik komunitas kreatif. Kesempatan ini disambar forum diskusi fotografi ONGKOSS, dalam perbincangan “Ruang Apresiasi Fotografi” untuk pertemuan bulan Agustus.

Seperti biasa, entah itu jadi trend. Waktu di kota Bandung serasa penuh dengan norma-norma toleransi yang sangat tinggi sekali. Terlambat itu bukan lagi dalam hitungan detik-menit, namun jam. Hal biasalah, malah aneh kalau tepat waktu. Begitu juga dengan waktu undangan pada kegiatan forum diskusi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS, pertemuan bulan ke-tiga, hari senin, 23 Agustus 2010. Pukul empat ternyata harus kalah dengan produsen karet, akhirnya jam lima adalah angka negosiasi yang pas. Satu persatu partisipan hadir, sebutlah Sjuaibun Iljas dan Iwan Santosa selaku dosen fotografi. Riadi Raharja, Agus Wahyudi, Tisna Prabasmoro, Argus, Sandy Jaya Saputra, Eki Qushay Akhwani, Roni, Galih Sedayu dan Mia Damayanti. Acara dibuka oleh Deni Sugandi, melemparkan topik diskusi, yaitu menyoal ruang apresiasi fotografi di Bandung.


Ruang apresiasi yang dimaksud, bukan berupa bentuk fisik ruang pamer saja, melainkan bisa berupa ruang adu wacana, ruang diskusi, ruang baca, ruang presentasi ataupun ruang di dunia maya sekalipun. Kembali membatasi berbicara seputar ruang pamer-foto, di Bandung, Mia Damayanti telah membuktikannya, bahwa banyak ruang alternatif yang ada. Seperti pada pamerannya di sebuah café di jalan Bagusrangin, dalam pameran karyanya “Jazz-Poster & Post it” tanggal 11 Juli hingga 7 Agustus 2010 lalu. “Malahan dari pihak café pun tidak memungut biaya dan ketentuan-ketentuan khusus, yang misalnya harus menghadirkan orang pada acara pameran ini” jelasnya. Sebutlah, ruang alternatif seperti ini begitu banyak hadir di kota Bandung, yang konon kota kuliner, yang menandakan masyarakatnya sangat komsumtif. Entah itu di dalam kota, hingga kepuncak-puncak bukit pinggiran kabupaten Bandung utara. Mia Damayanti sangat bersukur diberi kebebasan, bisa mengapresiasikan karyanya di ruang publik-komersil ini. Tidak seperti sebuah café di Cikapayang Dago, yang memang membranding dirinya sebagai ruang apresiasi pamer karya foto, menyebut namanyapun “sangat fotografi” namun sayang sekali, pemiliknya tidak berupaya mengapresiasi karya foto. Sebut sajasalah satunya, pameran karya kawan-kawan dari kampus Unisba, dengan tajuk “Panggung Selebrasi” yang dipamerkan di café tersebut, dari tanggal 8 hingga 10 Mei 2010. Sungguh sangat prihatin, tata letak dan cara penyajiannya membunuh karya foto tersebut. (lihat artikelhttp://denisugandi.blogspot.com/2010/05/momen-artifisial-catatan-pameran.html). Jelas membuktikan, ruang alternatif tersebut kadang bisa menjadi buruk.


Sandy Jaya Saputra, yang biasa dipanggil Useng, mengungkapkan, bahwa karya pun tidak melulu harus hadir di ruang seperti itu. Dalam garapannya bersama kawan-kawannya di Brigadephoto#, ruang garasi belum jadipun bisa menjadi ruang apresiasi. (lihat Just Kick The Wall) Semuanya berpulang pada konsep apa yang hendak dibangun dan komunikasi apa yang akan disampaikan.

Berpameran karya fotografi, tentunya tidak begitu saja terjadi, selain gagasan, bentuk sajian dan promo, namun hal terpenting adalah mengkomunikasikan ide kreator. Disinilah dibutuhkan seorang kurator, menyambung lidah dari karya pameran ini pada publik. Karena ketika dihadirkan diruang publik, tentunya menjadi konsumsi penikmat foto. Komentar baik maupun buruk, akan berpulang kepada publik itu sendiri. Jadi berpameran itu adalah bentuk tanggung jawab karya. Mengapa harus berpameran?


Pasti ada alasan khusus, bila tidak mempunyai motivasi, buat apa menghabiskan dana, waktu dan tenaga. Dilihat dari motifnya, pameran dilaksanakan karena ingin mengkomunikasikan karya kepada publik. Sejatinya fotografi itu adalah mengkomunikasikan. Bila tidak ingin dihujat, dikritik, saran yang terbaik adalah narsis dibalik layar monitor komputer. Kemudian selain itu sebagai sarana untuk “jualan” Perlakuan seperti ini sering terjadi di dunia fotografi komersial, entah itu penjualan lansung karya tesebut maupun bersifat benefit, menjual citra fotografer itu sendiri.

Berikutnya bisa sebagai penanda karir, atau dalam dunia profesi pekerja seni fotografi, konsistensi berkarya adalah penting, sehingga bisa menandai hasil karya lalu dengan karya berikutnya. Motivasi lain bisa juga sebagai mencari jejaring dan branding. Bagi pekerja seni fotografi, bentuk ciri karya individual akan menjadi benda koleksi. Hal ini hanya terjadi di ruang gallery, lengkap dengan kurator sebagai “penjaja karya” pada publik. Selebihnya adalah bentuk aktualisasi diri. Bentuk kontemplatif ini bisa disebut sebagai mengajak penikmat foto menyelami suatu persoalan. Bahasa yang bisa dimunculkan adalah opini si kreator yang bersangkutan. Bila komunikasi visual tersebut dimengerti penikmat foto, maka karya tersebut tidak penting lagi.


Kembali pada ruang apresisasi pameran karya. Sepakat dikatakan bahwa ruang pamer alternatif seperti ini ada. Yang jadi persoalan adalah kehendak dari si kreator tersebut menggelar karyanya. Menurut Tisna Prabasmoro, ada dua kemungkinan, apakah karena tidak tahu bagaimana tata cara berpameran, atau tidak mempunyai keberanian. Galih Sedayu menimpali, untuk urusan manajemen pameran, ia pun telah mengusahakan bersama kawan-kawan yang lain. Dalam catatannya nyapun ia pernah membantu, diataranya pewarta foto Andri Gurnita, menyelenggarakan pameran foto di Gedung Indonesia Menggugat setahun lalu. Jadi untuk organising dan manajemen pameran pun sudah ada yang melakukannya.


Untuk masalah keberanian, Sandy melihat seharusnya dunia pendidikan; penyelenggara pendidikan atau pendidiklah yang seharusnya lebih bertanggung jawab. “Inilah fotografi Indonesia” ucap Ray Bachtiar pada kesempatan pertemuan Ongkoss sebulan lalu, menyikapi kondisi kekinian, fotografi di Indonesia. Pada akhirnya masalah ini menjadi beban bersama, karena aktifitas karya fotorgrafi yang dikomunikasikan pada publik itu adalah bentuk kedewasaan budaya kita. Pada ujungnnya, geliat fotografi di kota Bandung yang seharusnya lebih merangsang, kini kehilangan nafsunya. Karena keberanian berpameran itu bukan agenda penting lagi bagi sebagian penghasil karya visual fotografi di Bandung. Karena pilihan tersebut memang tidak pernah ada. Kenapa? (denisugandi@gmail.com)

Pendidikan Fotografi Mau Kemana?

Oleh: Asep D. Iskandar.


"Apa yang diajarkan di dalam ruang-ruang sekolah ternyata telah melahirkan man usia-man usia pengecut yang tidak berani mengambil resiko, yang puas menjadi pekerja atau budak, dan tidak ingin untuk mencapai sesuatu yang lebih. Sekolah-sekolab kita telah mengungkung kreativitas dan mematikan keberanian." H.A.R. Tillar; 2002, 103.

Perbincangan tentang dunia pendidikan hanyalah berupa wac ana yang tiada berujung. Perjalanan bangsa pasca reformasi, temyata tidak membuahkan perubahan yang berarti dalam bidang pendidikan bahkan institusi pendidikan secara kualitas dalam kondisi terpuruk. Penyelenggaraan pendidikan pada awalnya diharapkan dapat mendorong terjadinya perubahan watak, mampu menciptakan individu-individu yang berfikir kritis, dan wahana untuk mencapai kemerdekaan. Tujuan yang begitu mulia justru diabaikan demi untuk sebuah kepentingan lain. Pendidikan kini dijadikan komoditi yang sangat menguntungkan sehingga berimplikasi pada proses mesin kekuasaan yang besar.

Manajemen sebagai pengelola praxis pendidikan untuk menghasilkan keluaran (output) yang berkwalitas itupun tidak bisa berbuat banyak karena masih bersifat satu arah. Penyelenggaraannya mengikuti pola-pola terstruktur dan ditentukan dari atas, diatur oleh undang-undang dan peraturan. Cara-cara yang otoriter, sentralistik, dan tidak memberi ruang¬ruang altematif lain sehingga cara-cara pengelolaan berjalan secara tradisional tanpa perubahan. Hal tersebut berujung terjadinya arogansi baik bagi pengelola pendidikan maupun para pengajar. Sebagai bagian dari kekuasaan yang besar mengharuskan peserta didik, orang tua, dan masyarakat harus mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku dan mereka diposisikan sebagai objek belaka. Peserta didik yang bersentuhan langsung dengan institusi diharuskan memenuhi kewajibannya sedangkan hak-haknya terabaikan. Arogansi yang begitu melekat akan membawa dampak bagi psikologi peserta didik yang pada akhimya mereka menjadi tertekan. Tentunya masih melekat pada ingatan kita kisah Herianto asal Garut anak 12 tahun mencoba bunuh diri karena tertekan gara-gara ditagih iuran SPP di tengah-tengah pelajaran berlangsung.

Perubahan jaman dan perkembangan teknologi berdampak pula pada perubahan kurikulum, setidaknya pendidikan tidak ketinggalan terlalu jauh. Tetapi pada kenyataannya perubahan kurikulum hanya menjadi penambahan jumlah mata kuliah yang menjadi beban peserta didik, bukan pengembangan kualitas isi, dan penerapan kurikulum hanya menjadi jargon-jargon tanpa makna serta dalam implementasinya benar-benar melempem. Setidaknya dari semua permasalahan-permasalahan terse but menjadi gambaran kondisi pendidikan bangsa ini. Kayaknya institusi pendidikan harus mencoba untuk berbenah diri, mengevaluasi, merevitalisasi, dan mangembalikan makna pendidikan kepada tujuannya.

"Pendidikan Akademik Fotografi" ?
Di penghujung Juli 2003 bertempat di Galeri Kita ada perbincangan yang menarik antara kawan-kawan mahasiswa lSI Jogjakarta dan Unpas. Perbincangan tersebut diawali dengan adanya opini Arif E. Suprihono yang dimuat di Majalah Foto Media bulan April bertajuk "Gelar Akademik dan Pekerja Fotografi". Tulisan tersebut bukan saja menjadi perbincangan bahkan saya mengirim tanggapan ke majalah tersebut yang tidak pemah dimuat karena keburu majalah tersebut bangkrut. Dalam pertemuan lain antara alumni yang sukses berbagi pengalaman dengan mahasiswa. Alumni itupun bingung ketikaada pertanyaan "apa yang membedakan antara fotografer otodidak bahkan sukses dan fotografer akademik?". Dalam kebingungannya dia

menjawab yang membedakan hanyalah gelar akademik yang disandang dan karya-karya fotografi yang dibuat terlahir dari sebuah ide, konsep atau apapun namanya.

Dari judul dalam opini Arif tersebut merupakan penanda bahwa lulusan bergelar sarjana yang lahir dari sebuah institusi pendidikan tinggi fotografi lSI Jogjakarta dipersiapkan untuk menjadi para pekerja fotografi atau celoteh kawan-kawan mahasiswa sebagai tukang motret. Lantas bagaimana dengan lulusan serupa dari institusi fotografi di Bandung, Jakarta, dan Bali? Penanda tersebut diperkuat lebih lanjut dalam isi opini yang menyatakan bahwa; "Sebagai mana diketahui oleh banyak pekerja fotografi, bahwa pada akhimya pendidikan strata satu fotografi masih cenderung bermuara pada tiga jenis pembidangan kerja; yakni pendidikan minat utama fotografi komersial, fotografi jumalistik, dan fotografi eksperimental (fine art)".

Pandangan tersebut sangatlah wajar karena institusi pendidikan masih mengacu pada paradigma lama. Pada akhimya institusi masih mengembangkan pola untuk mencetak tenaga¬tenaga kerja terampil dengan gelar sarjana. Dapatlah dikatakan istitusi pendidikan telah masuk dalam perangkap kapitalis yang membutuhkan tenaga kerja atu budak. Sangatlah wajar jika kemudian melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak berani mengambil resiko dan puas menjadi pekerja. Sebelum lebih jauh membahas hal ini mari kita lihat lagi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan.

Ilustrasi peraturan tersebut mengisyaratkan kita tentang jalur pendidikan yang dibagi dalam dua wilayah; pertama pendidikan akademik yang mengarahkan peserta didik pada penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya. Dengan memilih jenjang pendidikan tersebut diharapkan mahasiswanya untuk menggali keilmuan dan" memberikan konstribusi bidang keilmuan pada masyarakat. Jadi jenjang ini bukan hanya dicetak menjadi tenaga praxis tetapi sebagai diimbangi dengan penggalian dan pengembangan keilmuan. Sedangkan yang kedua jalur pendidikan profesional yang mengarahkan pada kesiapan menerapkan keahlian bidang tertentu secara profesional dalam hal ini bidang fotografi.

Penerapan peraturan terse but di setiap institusi umurnnya menjadi terbalik. Jenjang pendidikan strata satu (Sl ) mengarahkan para peserta didiknya untuk menjadi tenaga-tenaga yang terampil tanpa diarahkan untuk menggali keilmuan lebih jauh. Hal inilah yang kemudian pendidikan fotografi dianggap stagnan, mandul, bahkan dituding menambah terpuruknya fotografi sebagai media apresiasi. Institusi pendidikan kerap masih berkutat pada persoalah teknis sebatas dunia rekam dari hubungan cahaya dan objek. Kalaupun terdapat muatan ide biasanya muncul dalan penentuan subject-matter, atau pencitraan lewat pilihan terhadap permainan sudut pandang - cahaya - keeepatan. Wajar jika kemudian muncul kegelisahan peserta didik dan masyarakat sebagai stakeholder mempertanyakan kembali pendidikan fotografi Indonesia mau kemana? Hal tersebut terungkap pula dalam seminar nasional bertajuk "Standarisasi Pendidikan Fotografi di Indonesia" dalam rangkaian kegiatan Forum Komunikasi Mahasiswa Fotografi Indonesia yang pertama (FKMFI #1) pada 2 Maret 2005.

Jika mengacu pada jenjang pendidikan setidaknya pertanyaan tersebut sudah terjawab karena terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Namun, semuanya tergantung dari niatan dan visi institusi dalam mengembangkan pendidikan dalam konteks kompetensi profesi dan akademik. Institusi pendidikan dengan jalur akademik seharusnya dapat mengembangkan keilmuan fotografi lebih jauh muneulnya paradigma baru di dunia fotografi. Pada saat yang sarna kemuneulan institusi pendidikan dapat memberikan alternatif barn dalam proses peneiptaan seni visual. Hal tersebut bisa terjadi jika institusi termasuk pengelola dapat mengembangkan kurikulum melalui berbagai pendekatan dalam proses belajar mengajarnya. Salah satu contoh pendekatan yang dapat digunakan dengan teori pendidikan seni Disipline-Based Art Education (DBAE). Dengan teori DBAE fotografi dapat diajarkan secara efektif melalui intregrasi makna empat dasar disiplin seni yaitu, peneiptaan seni (artistic creations, sejarah seni (art history), tinjauan/kritik seni (art criticism). dan estetikalfilsafat (aesthetic). (Soeprapto:2002).

Metode integrasi dapat menunjang tercapainya kompetensi fotografi dan tereiptanya insan¬insan fotografi di bidang yang diminatinya baik itu pakar teoritis maupun tenaga praxis. Sebagai pakar teoritis para peserta didik akan dibekali dengan konsep dan wawasan yang meliputi berbagai istilah atau jargon terminologi, kumpulan-kumpulan nilai-nilai dan pemahaman logika terhadap semua unsur yang terkandung dalam khasanah fotografi. Sedangkan aspek praxis meliputi berbagai aktifitas keterampilan dan pendayagunaan proses penciptaan dalam penampilan imaji visual fotografi, Kedua bidang tersebut tentunya dapat tercipta jika adanya suatu formula pengajaran yang tepat sebagai alat atau sistem dan metode dalam proses "trannsfer of knowladge". Walaupun kedua bidang tersebut menjadi pilihan para peserta didik namun keempat dasar disiplin ilmu harus tetap terintegrasi dengan baik. Dengan demikian peserta didik dapat menguasai materi ajamya secara singkron dengan aspek disiplin lainnya.

Jadi kaum akademis bukan semata-mata hanya menjadi sarjana fotografi yang- hanya memilih ketiga bidang kerja yang .diarahkan pada pendidikan minat di dunia komersil, jurnalistik, dan eksperimental. Institusi ini harus mampu mencetak sarjana-sarjana berkualitas yang menghasilkan karya, ide, dan teori yang bisa menjadi paradigma baru dalam dunia fotografi. Institusi setidaknya harus meneetak manusia-manusia yang berani mengambil resiko dalam hidup. Jika masih berkutat pada hal-hal teknik, kecanggihan kamera, atau memotret seindah warna aslinya (kayak iklan) maka institusi pendidikan fotografi menjadi mandul.

Rujukan:
Iskandar, Asep Deni, Pendidikan Fotografi Mau Kemana?, Pers Kampus JUMPA, Universitas Pasundan, edisi Juni 2005.

Fieldman, Edmun Burke., Philosophy of Art Education, New Jersey: Prentice Hall, [nco 1996

Soedjono, Soeprapto., Teori D-B-A-E (Disipline-Based Art Education) Dalam
Pendidikan Seni Fotografi, Yogyakarta: lSI, 2002.

Catatan:
Penulis adalah pemerhati seni dan pendidikan Aktif di Lembaga Advokasi Pendidikan Kota Bandung
.

Tuesday, August 10, 2010

FORUM ONGKOSS “RUANG APRESIASI FOTOGRAFI” 23 Agustus 2010

Ibarat anak bermain bola di jalan raya, kini fotografi di Bandung dalam bahaya. Jangankan berbicara kurator fotografi atau kritikus foto, gallery fotografi yang layakpun belumlah ada. Sedih memang, yang membawa petaka. Pada akhirnya maha karya tersebut mati suri, menjadi hiasan dekoratif di jejaring sosial saja. Proses pemiskinan seperti ini seharusnya menjadi tanggung jawab bersama penyelenggara pendidikan, pebisnis foto (baca lab foto. Studio dll.) pehoby maupun tingkat amatir serius atau profesi fotogerfer. Bagaiman mana kita menyikapinya? Peran apa yang bisa kita berikan? Mari temui di acara Forum diskusi fotografi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS pertemuan bulan ketiga, tanggal 23 Agustus 2010, venue Jalan Pajajaran No. 80e (Pandu) 022.6038456, pkl. 16.00wib. (gratis) Info Deni 081322393930

Sunday, July 11, 2010

Pertemuan bulanan forum diskusi fotografi Omong Kosong Sore-Sore/ONGKOSS, Jumat 16 Juli 2010, Pkl. 16.00 WIB.

Undangan terbuka/gratis.

Tema diskusi

“PENDIDIKAN FOTOGRAFI INDONESIA MAU KEMANA?”

Semakin terpuruknya fotografi sebagai media apresiasi fotografi, maka seharusnya penyelenggara pendidikan fotografi harus bertanggung jawab. Tentu saja ujung pangkal dari segala kemandulan ini bukti bahwa pendidikan fotografi di Bandung loyo. Bagaimana persoalan ini berujung pangkal? Bagaimana mengurainya?

Latar sejarah pendidikan fotografi di Bandung

Geliat menyebarkan ilmu fotografi secara sistematis, jauh telah dilakukan sebelum masa penjajahan Jepang masuk di Indonesia (1942). Bisa disebut masa keemasan kolonial Belanda, yang diberikan oleh Mr. Noss, seorang warga Belanda yang menetap dan membuka kursus terbatas bagi mereka yang ingin belajar fotografi masa itu. Setelah Jepang berakhir, tampil Mr. Jap, tahun 1958, seorang Tionghoa membuka kursus proses cuci-cetak hitam putih untuk umum, di jalan Sunda Bandung dan Lan Ke Tung di Andir (Lovely Foto). Bisa disimpulkan, kedua pelatihan fotografi ini terbatas di persoalan teknis. Baru beberapa tahun kemudian, setelah kursus terbatas oleh Alm. RM. Soelarko yang bernama Fokine tahun 1971, kemudian tahun 1979, melalui Prayitno, lahirlah sekolah fotografi modern; Institute Seni Fotografi dan Disain/ISFD di jalan Riau 55 Bandung. Melalui intitusi ini, sistem manajemen telah diterapkan, termasuk alat peraga dan metode ajar.

Selanjutnya Pusat Pelatihan Fotografi Jonas/PPFJ (8 Mei 1998), yang kemudian berganti manajemen menjadi INOVA Pusat Pelatihan Fotografi dan Digital Imaging (1 Oktober 2003), salah satu perintis sekolah fotografi yang melek manajemen. Klub fotografi tua di Bandung pun ingin hadir, Perhimpunan Amatir Foto/PAF, melalui yayasannya, yang ternyata layu sebelum berkembang. Fotografi masuk di Universitas dan Institute tahun 1992 di IKJ Jakarta, sebagai program khusus. Pada tahun yang sama, lahir pula Galeri Fotografi Jurnalistik Antara/GFJA di Pasar Baru Jakarta. Tahun 1994 di Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta. Beberapa tahun kemudian, di Bandung lahirlah Program Fotografi dan Film tanggal 13 Februari 1996, dibawah naungan Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan. Memasuki teknologi fotografi digital, lahir kursus singkat yang dimotori Individu dan kelompok, yang boleh dikatakan berkutat seputar persoalan teknis saja. Diantaranya Medicourse, Sekolah Fotografi Tjap Boedi Ipoeng, HUMANIKA, Komunitas Iluminati, Ari Angin Fotografi dan sitem online My Infrared Dibyo Gahari.

Dari rangkaian diatas, kursus, pelatihan, sekolah fotografi masih ada pada tatanan ajar-teknis. Semua didominasi menghasilkan sumber daya manusia untuk menjadi operator dalam industri fotografi. Sadar atau tidak, dunia fotografi kita kini hanya sebatas tukang, tererosi oleh arus yang disebut industri, yang memiliki bos bernama kapitalis. Dalam kondisi demikian sangat sulit bisa berbicara apresiasi dan kritik fotografi, karena semua penyelenggara pendidikan fotografi kompak berbicara sebatas teknis. Bisakah penyelenggara pendidikan melek, melihat bahwa substansi fotografi bukan melulu itu-itu saja. Bisakah penyelenggara pendidikan mengubah paradigmanya? Dicatat atau tersingkir dan dilupakan sejarah? Jika kondisi terakhir terjadi pada kita, inilah akhir riwatat fotografi kita.

Hari/waktu

Jumat, 16 Juli 2010. Pkl. 16.00 WIB sampai 17.00 WIB

Venue

HUMANIKA School of Photography, Jalan Sunda No. 39a Bandung (Setelah perempatan jalan Veteran- jalan Sunda)

Keynote

Riadi Raharja (Inova Pusat Pelatihan Fotografi dan Digital Imaging), *Heriwanto Aang (Program Fotografi dan Film FISS UNPAS), Iwan Santosa (Dosen Fotografi DKV Maranatha), *Asep Deni Iskandar (Dosen Fotogfrafi DKV Widyatama), Sjuaibun Iljas (Dosen Fotografi) dan Andang Iskandar (HUMANIKA School of Photography Bandung)

*Dalam konfirmasi

Moderator

Deni Sugandi

Apa itu ONGKOSS

Digagas oleh Deni Sugandi, lahir begitu saja, prematur karena sedih semakin langkanya forum diskusi yang mempersoalkan seputar fotografi, diluar perkara teknis. Bila diskusi ini kurang penting, anggap saja omong kosong belaka, namun bila bisa menyimpulkannya, diskusi ini bisa berbuah manfaat. Ongkoss bertekat turut mencerdaskan bangsa.

Info: denisugandi 081322393930

http://diskusiongkoss.blogspot.com

Wednesday, June 9, 2010

MENELANJANGI PLAGIAT SEBENARNYA: Mengupas plagiat dalam fotografi dari tema, gagasan dan bentuk

Isu plagiat, yang selalu berkonotasi seram ini, selalu mampir dalam berbagai wacana seni. Dalam wahana fotografi, kegiatan meniru dan menjiplak tersebut, hingga kini masih dalam batas abu-abu. Sampai sekarangpun, belum pernah ada kajian khusus apa itu plagiat atau bukan. Saya sendiri mencoba menyelami persoalan ini, menggali kembali peristiwa seperti ini yang pernah diungkap di media masa, dengan konteks untuk kebutuhan kompetisi fotografi.

Kembali pada tahun 1997, pada saat penyelenggaraan Salon Foto Indonesia (Foto Media, April 1998) pihak panitia dan juri menerima karya yang disebut plagiat. Tiga karya Okky Adiwijaya dinyatakan menjiplak, meniru kemudian menerbitkan dalam kontes fotografi nasional, SFI tahun 1997. Diantaranya karyanya dengan judul “Lover” peraih medali perak pada SFI ke-18 tahun 1997, yang ternyata sangat persis dengan karya foto Daniel J. Cox, dari sebuah artikel “How Pros Photograph Animals” pada majalah Popular Photography edisi Agustus 1996.

Begitu pula terulang, pada tahun 2000 lalu, karya Dedy H. Siswandi juara pertama untuk kategori Momokrom, dengan judul “Swimmer” pada SFI ke-21, disinyalir benar-benar meniru karya fotografer Choo Chee Yoong yang pernah diterbitkan dimajalah Photo Asia edisi Januari 1996.

Pada International Photo Contest, yang diselenggarakan oleh BINUS, tahun 2009, kembali tuduhan plagiat tersebut muncul. Kebebasan bersuara melalui jejaring sosial, Ricky N. Sastramiharja menyatakan dengan keras, bahwa karya Sutanta Aditya Lubis, sebagai pemenang lomba BINUS 2009 untuk kategori umum, adalah mirip dengan karya James Nachtwey, dengan judul “ Chechnya, 1996 - Ruins of central Grozny"

Sekali lagi, belum pernah ada kajian khusus. Baik itu dari fotografer senior pendahulu kita, seperti Alm. Kartono Ryadi, Santoso Alimin, Edwin Raharjo, Ir. Goenadi Haryanto, Stanley Bratawira, Paul I. Zacharia, Tubagus P. Svarajati, Budi Darmawan, Alm. K.C. Limarga, Solichin Margo, Aslam Subandi, Oscar Motuloh, jim Supangkat (baca Foto Media 1998 & 2000) tidak pernah menyatakan analisis khusus apa itu plagiat. Semua yang tertulis dalam artikel Foto Media tersebut hanya opini tanpa ada usaha untuk menjelaskan lebih dalam lagi persoalan ini. Sungguh sangat disesalkan, pekerjaan rumah ini belum pernah tuntas hingga kini, semenjak fotografi hadir pertama kali, menginjak tanah Batavia sejak tahun 1840.

Mengupas apa itu plagiat dan bukan tentunya memerlukan parameter tertentu, sehingga akan mudah untuk berpijak. Sistem menyamakan pemahaman terlebih dahulu adalah cara yang paling adil, dalam menilai apakah ini termasuk atau tidak. Arti plagiat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online) http://pusatbahasa.diknas.go.id, yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI mempunyai arti demikian:

pla·gi·at n pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, msl menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.

Dalam konteks visual fotografi bisa berarti meniru gagasan karya orang lain, kemudian menyatakan bahwa gagasan tersebut menjadi miliknya. Ini baru tahap gagasan saja, belum dilihat dari bentuk. Gagasan tersebut bisa saja ditiru karena faktor kognitif, sensasi-persepsi, memori dan imajinasi dalam melihat dan mencerap foto-foto yang pernah dilihat sebelumnya, kemudian dihadirkan kembali dalam bentuk gaya yang berbeda.

Bagaimana plagiat itu dikupas?

Perlu dipahami terlebih dahulu batasnya. Kita yakini terlebih dahulu bahwa dalam proses penciptaan karya tidak ada gagasan original. Sebaliknya, meniru nyaris sama itu pasti sangat memungkinkan. Jadi plagiat atau bukan akan mudah sekali dikupas. Cara apresiasi awal suatu karya foto ialah dengan mendeskripsikan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu obyek foto (subject matter) meliputi di dalamnya adalah menyebutkan karater obyek-obyek yang muncul didalam foto tersebut; orang, benda, tempat atau kejadian/peristiwa yang terjadi.

Visual elemen atau unsur-unsur yang menyusun, mengatur dan membangun foto sebagai berikut: titik, garis, bidang, bentuk, cahaya, warna, tekstur, massa, ruang dan volume disebut bentuk dan teknis (form). Deskripsi tersebut dapat dilihat dari rentang nada (shades of gray/tonal) hitam ke putih, kontras obyek, kontras jenis film/negatif (noise untuk digital) kontras kertas, format film, sudut pandang, jarak obyek, lensa yang digunakan, pembingkaian, ruang tajam, tingkat ketajaman fokus dan sebagainya.

Media. Material pembangun karya foto tersebut. Misalnya cetakan momochrome dengan menggunakan media kertas cetak tertentu, dengan proses lanjutan (paska-produksi menggunakan teknik digital imaging). Deskripsi media pun meliputi seluruh aspek yang turut membangun terciptanya ekspresi seniman pada karyanya, serta dampak yang timbul pada pelihatnya.

Terakhir adalah melihat dari gaya/style. Adalah menyangkut kondisi sosial-politik-ekonomi dan semangat jaman saat itu (zeitgeist) termasuk didalamnya gerakan seni, periode waktu serta faktor geografis, yang memperngaruhi proses penciptaan karya. Ciri seperti ini bisa dikenali dari obyek foto, teknis pemotretan dan media foto.

Mengupas tuduhan palgiat Sutanta Aditya Lubis versus James Nachtwey

Dua anak, dengan menggunakan lensa lebar, memenggal separuh kepala anak tersebut. Point of interest gambar ini bukan anak tersebut, tetapi informasi yang terkandungnnya, lingkungan dalam gambar ini menjelaskan, sama-sama sebuah produk perang; James Nachtwey menjelaskan kehancuran sebuah kota di Central Grozn di Checnya tahun 1996 (Dengan judul Ruins of Central Grozn), sedangkan karya Sutanta Aditya Lubis memaparkan “perang” himpitan ekonomi di pinggiran kota. Bila disandingkan, dua foto tersebut memang terlihat sama, baik itu pemilihan sudut pengambilan-dari atas, perspektif yang dihasilkan dari efek lensa lebar atau menghadirkan kepala anak separuh, sehingga si pemotret bisa leluasa mengeksplorasi latar pendukung yang mewakili kekuatan anak tersebut. Ide dan gagasan sama, namun maknanya bisa berbeda.

Tema dan pesan kedua foto tersebut sama, sama-sama berusaha menampilkan sisi realitas manusia yang buram. Sisi buram ini yang saya lihat tidak lagi menampilkan manusia sebagai tokoh sentral atau sebagai subyek, melainkan sebagai obyek dari sistem sosial, budaya, politik dan sistem ekonomi tertentu. Jelas keduanya menggunakan narasi visual negatif.

Bila dianalisa dari alur dan bentuk, kedua foto tersebut nyaris memiliki pola yang sama, pengambilan sudut lebar, dengan demikian dapat mengambil informasi lingkungan yang lebih banyak. Dengan penggunaan lensa lebar, perspektif menuju pada titik yang sama. Bisa diperhatikan garis maya pada karya foto Sutanta, jalur kereta api, menuju titik perspektif yang sama dengan karya Nachwey, deskripsi rentang nada/tonal menggunakan pemilihan paska-produksi hiram dan putih, intensitas cahaya pada saat pengambilan, low kontras dan aspek teknik burning-dodging.

Dalam menterjemahkan gaya, baik Sutanta dan Nachwey, sama-sama menggunakan metode EDFAT, metode yang diperkenalkan Walter Cronkite School of Journalism and Telecomunication, Arizona State University. Sebagai metode EDFAT mungkin tepat digunakan sebagai pembingbing dalam setiap penugasan ataupun mengembangkan suatu konsep fotogafi pribadi (Motuloh, Oscar, 1999, hal 6). EDFAT adalah suatu metode pemotretan untuk melatih optis melihat sesuatu dengan detail yang tajam. Tahapan-tahapannya yang dilakukan pada setiap unsur dari metode ini adalah suatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai (Prasetya, Andhika, 2003, hal 26).

Huruf E, berarti “Entire” dikenal sebagai established shoot, ruang luas wilayah pengamatan, “Detail” adalah suatu pilihan atas bagian terntentu dari keseluruhan padangan terdahulu (Entire). Tahap ini adalah saat penentuan Point of Interest. Sutanta mengambil mata anak yang tertutup perban, karena menderita penyakit mata, bermaksud mengantarkan menuju lingkungannya (latar). “Frame” adalah proses membingkai detail yang telah terpilih. Cara pengaturan komposisi, pola, tekstur dan bentuk subyek pemotretan antara dua karya tersebut sama. “Angle” atau sudut pengambilan, sama-sama dilakukan dari atas, top angle, karena kedua fotografer sama-sama tinggi dibandingkan si anak tersebut. Tahapan terakhir dari EDFAT, adalah “Time” tahap penentuan kehadiran anak tersebut (saya berkesimpulan tidak ada upaya pengaturan subyek) pada seting waktu yang sama, sama-sama menggunakan kecepatan tinggi, membekukan gerakan. Hanya pemilihan ruang tajam saja yang berbeda.

Palgiat itu?

Karya Sutanta dan Nachtwey, baik itu dari bentuk, gagasan dan tema, jelas karya ini bila disandikan ada kesetaraan. Persamaan karya ini, ternyata mudah sekali terjadi. Kalau memang Sutanta menyadari karya ini ada kesamaan dengan karya fotografi sebelumnya, yang pernah dikenal publik (dipublikasikan) dan kemudian dihadirkan diruang publik, misalnya dalam lomba foto, tentu saja karya ini harus dipertanggung jawabkan pada publik pula dan Sutanta harus siap menjawab. Hal demikian lumrah terjadi pada dunia jurnalistik, lihat saja karya essay foto Rama Surya “Yang kuat yang kalah” bila dibandingkan dengan karya Sebastian Salgado dalam essainya “An Uncertain Grace” sebagian besar sama dan sebangun (congruent), yang sangat dipengaruhi gaya pemotretan fotografer-fotografer pendahulunya: Henri Cartier Bresson dan Eugen Smith. Sutanta Aditya Lubis terinspirasi karya-karya James Nachtwey adalah sah-sah saja. Tetapi bilamana karya tersebut turut membuka wawasan publik dan kemudian publik bereaksi, karya foto tersebut sudah tidak penting lagi, juga tidak penting lagi berbicara apakah itu plagiat atau bukan. (denisugandi@gmail.com)

Monday, June 7, 2010

DON’T BE ORIGINAL: Diskusi tentang plagiat dalam fotografi. Catatan dari pertemuan diskusi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS, 7 Juni 2010


(denisugandi@gmail.com)

Plagiat atau bukan dalam karya fotografi; topik pembicaran yang akhirnya menjumpai teman-teman dalam forum temu wacana seputar fotografi, yang dikemas dalam diskusi bersama Omong Kosong Sore-sore atau ONGKOSS. Forum yang hendaknya turut menggembirakan wacana dan wawasan fotografi di Bandung, pula menjadi satu-satunya forum diskusi (pertama) yang mengupas dan mengiris tentang kritik fotografi di Bandung kini. Dihadirkan dalam bentuk sarasehan, suasana santai, semua membebaskan dirinya, turut berargumentasi, sumbang opini, bersama-sama belajar turut memperkaya khasanah fotografi. Kini lahirlah, forum diskusi bulanan fotografi ONGKOSS, tampil perdana tanggal 7 Juni 2010.

Tersebutlah, rumah batas gang jalan Pandu Dalam I nomor 4 menjadi saksi. Adalah ruang tamu tempat kerja Dedy H. Siswandi berubah bentuk sementara menjadi ruang pertemuan kagetan. Memang, semua tidak direncanakan jauh-jauh hari, inilah memang semangat forum ini, tidak pernah berencana. Dari serba mendadak, penyebaran hanya lewat groups di Facebook, akhirnya terkumpulah berberapa orang yang turut hadir, diantaranya: Agung, Abri, Fajar R. dari kampus Manajemen Telkom Jurusan Ilmu Komunikasi, dua pewarta foto dan tulis; Benny dan Roni dari pramuka.com, Tirta T, Eki Akhwan penulis aktif di bandungdailyphoto.com, Dedy H.Siswandi nara sumber, Ricky Nugraha selaku pemakalah dan Moderator diskusi oleh Deni Sugandi.

Tiga lebih menjelang pukul empat, partisipan telah hadir. Tanpa upacara potong pita peresmian, semuanya mengalir lancar. Deni Sugandi mengantarkan titik fokus diskusi, memaparkan latar bentuk persoalannya. Kemudian disambung Ricky N, menjelaskan kronologis “gugatannya” pada blog Sutanta Aditya Lubis, yang ia tuduhkan sebagai plagiat. Karya fotografi yang kemudian menjadi pemenang pertama dalam kategori umum, pada Binus International Photo Contest. Sudah seharusnya, karya ini hadir diruang publik, maka publik pula lah yang mengadilinya.

Plagiat menurutnya

Dua foto yang nyaris sama, bila dilihat dari bentuk dan gaya pemotretan. Dua anak, dengan menggunakan lensa lebar, memenggal separuh kepala anak tersebut. Point of interest gambar ini bukan anak tersebut, tetapi informasi yang terkandungnnya, lingkungan dalam gambar ini menjelaskan, sama-sama sebuah produk perang; James Nachtwey menjelaskan kehancuran sebuah kota di Central Grozn di Checnya tahun 1996 (Dengan judul Ruins of Central Grozn), sedangkan karya Sutanta Aditya Lubis memaparkan “perang” himpitan ekonomi di pinggiran kota. Bila disandingkan, dua foto tersebut memang terlihat sama, baik itu pemilihan sudut pengambilan-dari atas, perspektif yang dihasilkan dari efek lensa lebar atau menghadirkan kepala anak separuh, sehingga si pemotret bisa leluasa mengeksplorasi latar pendukung yang mewakili kekuatan anak tersebut. Ide dan gagasan sama, namun maknanya bisa berbeda.

Dari argumentasi inilah, Ricky Nugraha menuduh keras, Sutanta Aditya Lubis jelas sebagai plagiat. Berikut cuplikan dalam blog yang dimuat (kemudian dihapus oleh Sutanta Aditya Lubis)

http://pixelet.multiply.com/photos/album/22/ACCESS_TO_HEALTH_The_winner_of_IPC_2010-General_Category

rickywinky wrote on Jun 4, edited on Jun 4

Saya masih punya salinannya kok. Ini sebagai respek saya terhadap kamu.
Saya masih butuh banyak keterangan dari kamu, tetapi kamu malah mengelak. Diskusi ini sehat bagi banyak orang, walau menyakitkan kamu, panitia IPC, juga juri binus yang katanya terhormat dengan peralatan canggih. Kamu itu korban merangkap pelaku pada sistem lomba foto yang berlaku. Salam.


rickywinky wrote on May 29
foto ini plagiasi dari foto James Nachtwey "
Chechnya, 1996 - Ruins of central Grozny" . Coba kamu cek dihttp://www.jamesnachtwey.com/ . Foto ini dikategorikan plagiat karena anda menang lomba, dan foto ini tersebar ke publik sebagai juara. ANda sangat ceroboh dan sengaja melombakan foto ini. Juri IPC 2010 juga lebih ceroboh lagi.

Seharusnya anda malu menjadi plagiat, karena walau fotografi adalah seni mekanis-elektris, tetapi plagiasi tetap perilaku tidak terpuji.

cek deh di blog saya:
http://6ix2o9ine.blogspot.com/2010/05/plagiat.html

pixelet wrote on May 30
Apa menurut kamu definisi dari plagiat? ketika nama kamu hadir di dunia ini, sama dengan nama kakek ku yang berumur lebih tua dari kamu. Apakah orang tuamu juga disebut plagiat?
Kemiripan karya yang tercipta dengan spontan bukanlah sebuah plagiat.
Aku harap kamu bisa lebih belajar dari pengalaman kakek ku yang memiliki nama yang sama dengan mu.
Thanks atas masukan klise mu.

rickywinky wrote on May 30, edited on May 30
plagiat meniru ide, menjiplak ide orang lain mentah-mentah dan mengaku bahwa ide orang lain, karya orang lain yang diimitasi sebagai karyanya sendiri. menurut saya, menjadi masalah saat kamu mengikutsertakan ke lomba dan menang. tentu bukan 100 persen kesalahan kamu, tetapi jurinya juga tidak punya wawasan.

kamu adalah penggemar james nachtwey. saya tahu itu. tidak mungkin karya spontan. semuanya sudah kamu pikirkan sebelum memotret. kamu sudah punya konsep dari fotonya Nachtwey, yang kamu jiplak dengan sangat mirip.

sorry, masalah namaku tidak bisa disamakan dengan plagiasi atas nama kakekmu. soalnya namaku tak pernah ikut lomba...

salam fotografi. ini hanya kritik membangun. lagipula saya tidak ikut lomba seperti itu. saya terlalu miskin untuk membeli kamera apalagi hanya untuk menjiplak karya orang.

pixelet wrote on May 31
Salam,
Cara berbicara mencerminkan watak si pembicara, kenapa kamu yakin saya adalah penggemar James Nachtwey? Opini 1.

Kalau ternyata naluri memotret saya, baik itu momen atau makna yang disampaikan oleh foto tersebut sama dengan nalurinya, apakah itu disebut plagiat? Opini 2.

Dipertegas, pemikiran angle foto itu terlintas ketika saya menemukan derita yang dirasakan objek yaitu sakit mata yang mengakibatkan pembengkakan pada bagian mata kanannya.

Secara spontan artinya, ide pengambilan foto itu keluar dengan waktu yang singkat sebelum si objek beranjak dari tempatnya.

Beralih ke penyadur, saya bisa saja mengatakan kamu seorang penulis yang suka menyadur tanpa etika. Kenapa? kamu tidak punya hak untuk menyadur karya saya ataupun James Nachtwey...
Apalagi untuk kepentingan pribadi blog kamu....

Soal nama kamu, itu jadi perumpamaan agar kamu bisa berfikir tepat.
Soal kaya atau miskin, itu tergantung relatifitas individu bung.

Saya kenal dengan seorang pemulung yang memiliki penghasilan perharinya sebesar Rp 25 ribu. Kalah dengan penghasilan saya...

Jadi jangan terlalu beropini, nanti malah jadi boomerang...
Terus berkarya, jagan malah jadi 'No Action Talk Only'....

rahmadsuryadi wrote on Jun 1
Hahaha....mantab dit....terlalu bodoh dan terburu2 dia mengadili karya orang.... tak usah irilah bung...belajar dan bekerja keraslah kamu kalok mau berprestasi seperti sutanta. Baru tau sedikit sudah sok pintar menganalisa karya orang..pakai hati nurani bung....hahahaha.....Bravo.... ....

rickywinky wrote on Jun 1
soal pembelaan, silahkan saja anda yang menjawab. anda yang tahu apakah SUTANTA MENIRU NACHTWEY atau sebaliknya, NACHTWEY MENIRU SUTANTA. Saya hanya melakukan akomodasi simbolik dan bentuk-bentuk visual yang sangat mirip dengan karya NACHTWEY.

buat bung rahmad: saya tidak punya nurani, juga tidak punya kamera. tapi saya tidak pernah jadi plagiat...

rickywinky wrote on Jun 1
masalah menyadur foto Nachtwey: semua materi yang tayang di internet artinya sudah disajikan ke publik. dan saya tidak pernah mengakui karya anda atau nachtwey sebagai karya saya. Opini pribadi di saya di
http://6ix2o9ine.blogspot.com/2010/05/plagiat.html dilengkapi sumber data yang valid. Ada nama Sutanta, ada nama Nachtwey. Bahkan saya juga mengutipkan sumber darimana asal saya mengutip. Bila harus mengutip kalimat atau memasang foto, saya selalu berusaha menuliskan sumbernya.Saya memang pemulung data, tetapi saya tidak mengakui ide dan konsep orang lain sebagai milik saya. Be a fair Brother... kita hidup di jaman internet. Semua perbincangan bahkan yang paling rahasia pun bisa tersebar di sini. Termasuk bagaimana Sutanta mengutip kalimat Nachtwey di Facebooknya (kalo belum dihapus). Saya yakin Sutanta mengagumi Nachtwey. Bahkan mungkin sangat terinpirasi. Tetapi inspirasi, sangatlah berbeda dengan plagiasi.

pixelet wrote today at 12:02 PM
Waduh bung, sorry untung masih ada waktu 5 menit untuk meladeni opini mu.
Mirip itu kata kamu, kalau kata ku nggak...
Karya ku jelas berbeda dengan James Nachwety... Walau Facebook ku menghargainya James Nacthwey sebagai tokoh fotografer perang.
Ide ku lahir, seperti ibu kamu yang tengah mengandungmu selama 9 bulan. Sebelumnya mereka tak mengkonsep mau bagaimana bentuk wajah kamu, male or female, white or black skin, etc...
Tiba waktunya, kamu pun bisa melihat dunia... Padahal mungkin sebelum kamu lahir, ibu atau ayahmu punya keinginan kalau anaknya lahir nanti mirip Ariel Peterpan. Hanya saja waktu yang membedakan mu dengan kakekku...
Itu Tuhan yang punya kuasa, kita hanya bisa menikmatinya.
Sama seperti proses pemotretan karya diatas, dasar memotretnya karena hati yang tergerak melihat kondisi itu...
Nah seperti yang kamu kerjakan itu, memang terlalu banyak yang harus dikutip. Sampai kamu bingung memilih, ya nggak?
Tapi, hati kecilmu nggak bicara apa? kalau kau hanya jadi penyadur... trus apa opini mu itu benar2 membuat hati senang? jika tidak kamu bisa kena sanksi KUHP loh...karena dari kemarin opini kamu aja yang keluar... sudah itu tidak ada yang comment lagi.

Satu hal, untuk menghasilkan karya itu, aku harus beradaptasi selama dua hari (freedom journalist)... setelah itu baru dapat izin memotret di tempat lumayan kumuh.
Kedua, yang diperjelas dalam caption adalah hasil konfirmasiku dengan objek. Baru aku berani pakai media untuk menyebarkan informasi itu, ya Binus International Photo Contest lah yang memberikan ku kebebasan itu.
Ketiga, kamu mulailah untuk nggak banyak cakap... tapi berbuatlah
Karena kalau kamu mengatakan foto ku mirip dengan yang lain.
Wajahku itu sangat mirip dengan salah satu temanku, apakah mamak kami kau sebut juga plagiasi?
Nggak ada niat bro... untuk memplagiat, selagi aku masih bisa bernafas dan berfikir.
Tapi kalau Tuhan berkehendak, foto itu punya kemiripan? mau bilang apa.
Yang jelas, aku hanya ingin menyampaikan pada dunia... masih ada toh orang yang gak punya KTP... sampai untuk mengobati matanya yang sakit saja, kas negara menagih sertifikasi untuk kelengkapan birokrasi...
Tapi orang kayak kamu membacanya lain>...
Lomba itu hanya kamu akhiri dengan perebutan kekayaan dan prestasi nyata... tapi nggak ada nurani
Caaaaapedeh... ladang ku masih lebar di Sumut ini bos
Oiya... aku kemarin ditawari untuk jadi fotografer media... namanya komat-kamit... tertarik? kamu sepertinya layak disitu.


(bersambung pada tulisan berikutnya. red)