Wednesday, June 9, 2010

MENELANJANGI PLAGIAT SEBENARNYA: Mengupas plagiat dalam fotografi dari tema, gagasan dan bentuk

Isu plagiat, yang selalu berkonotasi seram ini, selalu mampir dalam berbagai wacana seni. Dalam wahana fotografi, kegiatan meniru dan menjiplak tersebut, hingga kini masih dalam batas abu-abu. Sampai sekarangpun, belum pernah ada kajian khusus apa itu plagiat atau bukan. Saya sendiri mencoba menyelami persoalan ini, menggali kembali peristiwa seperti ini yang pernah diungkap di media masa, dengan konteks untuk kebutuhan kompetisi fotografi.

Kembali pada tahun 1997, pada saat penyelenggaraan Salon Foto Indonesia (Foto Media, April 1998) pihak panitia dan juri menerima karya yang disebut plagiat. Tiga karya Okky Adiwijaya dinyatakan menjiplak, meniru kemudian menerbitkan dalam kontes fotografi nasional, SFI tahun 1997. Diantaranya karyanya dengan judul “Lover” peraih medali perak pada SFI ke-18 tahun 1997, yang ternyata sangat persis dengan karya foto Daniel J. Cox, dari sebuah artikel “How Pros Photograph Animals” pada majalah Popular Photography edisi Agustus 1996.

Begitu pula terulang, pada tahun 2000 lalu, karya Dedy H. Siswandi juara pertama untuk kategori Momokrom, dengan judul “Swimmer” pada SFI ke-21, disinyalir benar-benar meniru karya fotografer Choo Chee Yoong yang pernah diterbitkan dimajalah Photo Asia edisi Januari 1996.

Pada International Photo Contest, yang diselenggarakan oleh BINUS, tahun 2009, kembali tuduhan plagiat tersebut muncul. Kebebasan bersuara melalui jejaring sosial, Ricky N. Sastramiharja menyatakan dengan keras, bahwa karya Sutanta Aditya Lubis, sebagai pemenang lomba BINUS 2009 untuk kategori umum, adalah mirip dengan karya James Nachtwey, dengan judul “ Chechnya, 1996 - Ruins of central Grozny"

Sekali lagi, belum pernah ada kajian khusus. Baik itu dari fotografer senior pendahulu kita, seperti Alm. Kartono Ryadi, Santoso Alimin, Edwin Raharjo, Ir. Goenadi Haryanto, Stanley Bratawira, Paul I. Zacharia, Tubagus P. Svarajati, Budi Darmawan, Alm. K.C. Limarga, Solichin Margo, Aslam Subandi, Oscar Motuloh, jim Supangkat (baca Foto Media 1998 & 2000) tidak pernah menyatakan analisis khusus apa itu plagiat. Semua yang tertulis dalam artikel Foto Media tersebut hanya opini tanpa ada usaha untuk menjelaskan lebih dalam lagi persoalan ini. Sungguh sangat disesalkan, pekerjaan rumah ini belum pernah tuntas hingga kini, semenjak fotografi hadir pertama kali, menginjak tanah Batavia sejak tahun 1840.

Mengupas apa itu plagiat dan bukan tentunya memerlukan parameter tertentu, sehingga akan mudah untuk berpijak. Sistem menyamakan pemahaman terlebih dahulu adalah cara yang paling adil, dalam menilai apakah ini termasuk atau tidak. Arti plagiat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online) http://pusatbahasa.diknas.go.id, yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI mempunyai arti demikian:

pla·gi·at n pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, msl menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.

Dalam konteks visual fotografi bisa berarti meniru gagasan karya orang lain, kemudian menyatakan bahwa gagasan tersebut menjadi miliknya. Ini baru tahap gagasan saja, belum dilihat dari bentuk. Gagasan tersebut bisa saja ditiru karena faktor kognitif, sensasi-persepsi, memori dan imajinasi dalam melihat dan mencerap foto-foto yang pernah dilihat sebelumnya, kemudian dihadirkan kembali dalam bentuk gaya yang berbeda.

Bagaimana plagiat itu dikupas?

Perlu dipahami terlebih dahulu batasnya. Kita yakini terlebih dahulu bahwa dalam proses penciptaan karya tidak ada gagasan original. Sebaliknya, meniru nyaris sama itu pasti sangat memungkinkan. Jadi plagiat atau bukan akan mudah sekali dikupas. Cara apresiasi awal suatu karya foto ialah dengan mendeskripsikan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu obyek foto (subject matter) meliputi di dalamnya adalah menyebutkan karater obyek-obyek yang muncul didalam foto tersebut; orang, benda, tempat atau kejadian/peristiwa yang terjadi.

Visual elemen atau unsur-unsur yang menyusun, mengatur dan membangun foto sebagai berikut: titik, garis, bidang, bentuk, cahaya, warna, tekstur, massa, ruang dan volume disebut bentuk dan teknis (form). Deskripsi tersebut dapat dilihat dari rentang nada (shades of gray/tonal) hitam ke putih, kontras obyek, kontras jenis film/negatif (noise untuk digital) kontras kertas, format film, sudut pandang, jarak obyek, lensa yang digunakan, pembingkaian, ruang tajam, tingkat ketajaman fokus dan sebagainya.

Media. Material pembangun karya foto tersebut. Misalnya cetakan momochrome dengan menggunakan media kertas cetak tertentu, dengan proses lanjutan (paska-produksi menggunakan teknik digital imaging). Deskripsi media pun meliputi seluruh aspek yang turut membangun terciptanya ekspresi seniman pada karyanya, serta dampak yang timbul pada pelihatnya.

Terakhir adalah melihat dari gaya/style. Adalah menyangkut kondisi sosial-politik-ekonomi dan semangat jaman saat itu (zeitgeist) termasuk didalamnya gerakan seni, periode waktu serta faktor geografis, yang memperngaruhi proses penciptaan karya. Ciri seperti ini bisa dikenali dari obyek foto, teknis pemotretan dan media foto.

Mengupas tuduhan palgiat Sutanta Aditya Lubis versus James Nachtwey

Dua anak, dengan menggunakan lensa lebar, memenggal separuh kepala anak tersebut. Point of interest gambar ini bukan anak tersebut, tetapi informasi yang terkandungnnya, lingkungan dalam gambar ini menjelaskan, sama-sama sebuah produk perang; James Nachtwey menjelaskan kehancuran sebuah kota di Central Grozn di Checnya tahun 1996 (Dengan judul Ruins of Central Grozn), sedangkan karya Sutanta Aditya Lubis memaparkan “perang” himpitan ekonomi di pinggiran kota. Bila disandingkan, dua foto tersebut memang terlihat sama, baik itu pemilihan sudut pengambilan-dari atas, perspektif yang dihasilkan dari efek lensa lebar atau menghadirkan kepala anak separuh, sehingga si pemotret bisa leluasa mengeksplorasi latar pendukung yang mewakili kekuatan anak tersebut. Ide dan gagasan sama, namun maknanya bisa berbeda.

Tema dan pesan kedua foto tersebut sama, sama-sama berusaha menampilkan sisi realitas manusia yang buram. Sisi buram ini yang saya lihat tidak lagi menampilkan manusia sebagai tokoh sentral atau sebagai subyek, melainkan sebagai obyek dari sistem sosial, budaya, politik dan sistem ekonomi tertentu. Jelas keduanya menggunakan narasi visual negatif.

Bila dianalisa dari alur dan bentuk, kedua foto tersebut nyaris memiliki pola yang sama, pengambilan sudut lebar, dengan demikian dapat mengambil informasi lingkungan yang lebih banyak. Dengan penggunaan lensa lebar, perspektif menuju pada titik yang sama. Bisa diperhatikan garis maya pada karya foto Sutanta, jalur kereta api, menuju titik perspektif yang sama dengan karya Nachwey, deskripsi rentang nada/tonal menggunakan pemilihan paska-produksi hiram dan putih, intensitas cahaya pada saat pengambilan, low kontras dan aspek teknik burning-dodging.

Dalam menterjemahkan gaya, baik Sutanta dan Nachwey, sama-sama menggunakan metode EDFAT, metode yang diperkenalkan Walter Cronkite School of Journalism and Telecomunication, Arizona State University. Sebagai metode EDFAT mungkin tepat digunakan sebagai pembingbing dalam setiap penugasan ataupun mengembangkan suatu konsep fotogafi pribadi (Motuloh, Oscar, 1999, hal 6). EDFAT adalah suatu metode pemotretan untuk melatih optis melihat sesuatu dengan detail yang tajam. Tahapan-tahapannya yang dilakukan pada setiap unsur dari metode ini adalah suatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai (Prasetya, Andhika, 2003, hal 26).

Huruf E, berarti “Entire” dikenal sebagai established shoot, ruang luas wilayah pengamatan, “Detail” adalah suatu pilihan atas bagian terntentu dari keseluruhan padangan terdahulu (Entire). Tahap ini adalah saat penentuan Point of Interest. Sutanta mengambil mata anak yang tertutup perban, karena menderita penyakit mata, bermaksud mengantarkan menuju lingkungannya (latar). “Frame” adalah proses membingkai detail yang telah terpilih. Cara pengaturan komposisi, pola, tekstur dan bentuk subyek pemotretan antara dua karya tersebut sama. “Angle” atau sudut pengambilan, sama-sama dilakukan dari atas, top angle, karena kedua fotografer sama-sama tinggi dibandingkan si anak tersebut. Tahapan terakhir dari EDFAT, adalah “Time” tahap penentuan kehadiran anak tersebut (saya berkesimpulan tidak ada upaya pengaturan subyek) pada seting waktu yang sama, sama-sama menggunakan kecepatan tinggi, membekukan gerakan. Hanya pemilihan ruang tajam saja yang berbeda.

Palgiat itu?

Karya Sutanta dan Nachtwey, baik itu dari bentuk, gagasan dan tema, jelas karya ini bila disandikan ada kesetaraan. Persamaan karya ini, ternyata mudah sekali terjadi. Kalau memang Sutanta menyadari karya ini ada kesamaan dengan karya fotografi sebelumnya, yang pernah dikenal publik (dipublikasikan) dan kemudian dihadirkan diruang publik, misalnya dalam lomba foto, tentu saja karya ini harus dipertanggung jawabkan pada publik pula dan Sutanta harus siap menjawab. Hal demikian lumrah terjadi pada dunia jurnalistik, lihat saja karya essay foto Rama Surya “Yang kuat yang kalah” bila dibandingkan dengan karya Sebastian Salgado dalam essainya “An Uncertain Grace” sebagian besar sama dan sebangun (congruent), yang sangat dipengaruhi gaya pemotretan fotografer-fotografer pendahulunya: Henri Cartier Bresson dan Eugen Smith. Sutanta Aditya Lubis terinspirasi karya-karya James Nachtwey adalah sah-sah saja. Tetapi bilamana karya tersebut turut membuka wawasan publik dan kemudian publik bereaksi, karya foto tersebut sudah tidak penting lagi, juga tidak penting lagi berbicara apakah itu plagiat atau bukan. (denisugandi@gmail.com)

Monday, June 7, 2010

DON’T BE ORIGINAL: Diskusi tentang plagiat dalam fotografi. Catatan dari pertemuan diskusi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS, 7 Juni 2010


(denisugandi@gmail.com)

Plagiat atau bukan dalam karya fotografi; topik pembicaran yang akhirnya menjumpai teman-teman dalam forum temu wacana seputar fotografi, yang dikemas dalam diskusi bersama Omong Kosong Sore-sore atau ONGKOSS. Forum yang hendaknya turut menggembirakan wacana dan wawasan fotografi di Bandung, pula menjadi satu-satunya forum diskusi (pertama) yang mengupas dan mengiris tentang kritik fotografi di Bandung kini. Dihadirkan dalam bentuk sarasehan, suasana santai, semua membebaskan dirinya, turut berargumentasi, sumbang opini, bersama-sama belajar turut memperkaya khasanah fotografi. Kini lahirlah, forum diskusi bulanan fotografi ONGKOSS, tampil perdana tanggal 7 Juni 2010.

Tersebutlah, rumah batas gang jalan Pandu Dalam I nomor 4 menjadi saksi. Adalah ruang tamu tempat kerja Dedy H. Siswandi berubah bentuk sementara menjadi ruang pertemuan kagetan. Memang, semua tidak direncanakan jauh-jauh hari, inilah memang semangat forum ini, tidak pernah berencana. Dari serba mendadak, penyebaran hanya lewat groups di Facebook, akhirnya terkumpulah berberapa orang yang turut hadir, diantaranya: Agung, Abri, Fajar R. dari kampus Manajemen Telkom Jurusan Ilmu Komunikasi, dua pewarta foto dan tulis; Benny dan Roni dari pramuka.com, Tirta T, Eki Akhwan penulis aktif di bandungdailyphoto.com, Dedy H.Siswandi nara sumber, Ricky Nugraha selaku pemakalah dan Moderator diskusi oleh Deni Sugandi.

Tiga lebih menjelang pukul empat, partisipan telah hadir. Tanpa upacara potong pita peresmian, semuanya mengalir lancar. Deni Sugandi mengantarkan titik fokus diskusi, memaparkan latar bentuk persoalannya. Kemudian disambung Ricky N, menjelaskan kronologis “gugatannya” pada blog Sutanta Aditya Lubis, yang ia tuduhkan sebagai plagiat. Karya fotografi yang kemudian menjadi pemenang pertama dalam kategori umum, pada Binus International Photo Contest. Sudah seharusnya, karya ini hadir diruang publik, maka publik pula lah yang mengadilinya.

Plagiat menurutnya

Dua foto yang nyaris sama, bila dilihat dari bentuk dan gaya pemotretan. Dua anak, dengan menggunakan lensa lebar, memenggal separuh kepala anak tersebut. Point of interest gambar ini bukan anak tersebut, tetapi informasi yang terkandungnnya, lingkungan dalam gambar ini menjelaskan, sama-sama sebuah produk perang; James Nachtwey menjelaskan kehancuran sebuah kota di Central Grozn di Checnya tahun 1996 (Dengan judul Ruins of Central Grozn), sedangkan karya Sutanta Aditya Lubis memaparkan “perang” himpitan ekonomi di pinggiran kota. Bila disandingkan, dua foto tersebut memang terlihat sama, baik itu pemilihan sudut pengambilan-dari atas, perspektif yang dihasilkan dari efek lensa lebar atau menghadirkan kepala anak separuh, sehingga si pemotret bisa leluasa mengeksplorasi latar pendukung yang mewakili kekuatan anak tersebut. Ide dan gagasan sama, namun maknanya bisa berbeda.

Dari argumentasi inilah, Ricky Nugraha menuduh keras, Sutanta Aditya Lubis jelas sebagai plagiat. Berikut cuplikan dalam blog yang dimuat (kemudian dihapus oleh Sutanta Aditya Lubis)

http://pixelet.multiply.com/photos/album/22/ACCESS_TO_HEALTH_The_winner_of_IPC_2010-General_Category

rickywinky wrote on Jun 4, edited on Jun 4

Saya masih punya salinannya kok. Ini sebagai respek saya terhadap kamu.
Saya masih butuh banyak keterangan dari kamu, tetapi kamu malah mengelak. Diskusi ini sehat bagi banyak orang, walau menyakitkan kamu, panitia IPC, juga juri binus yang katanya terhormat dengan peralatan canggih. Kamu itu korban merangkap pelaku pada sistem lomba foto yang berlaku. Salam.


rickywinky wrote on May 29
foto ini plagiasi dari foto James Nachtwey "
Chechnya, 1996 - Ruins of central Grozny" . Coba kamu cek dihttp://www.jamesnachtwey.com/ . Foto ini dikategorikan plagiat karena anda menang lomba, dan foto ini tersebar ke publik sebagai juara. ANda sangat ceroboh dan sengaja melombakan foto ini. Juri IPC 2010 juga lebih ceroboh lagi.

Seharusnya anda malu menjadi plagiat, karena walau fotografi adalah seni mekanis-elektris, tetapi plagiasi tetap perilaku tidak terpuji.

cek deh di blog saya:
http://6ix2o9ine.blogspot.com/2010/05/plagiat.html

pixelet wrote on May 30
Apa menurut kamu definisi dari plagiat? ketika nama kamu hadir di dunia ini, sama dengan nama kakek ku yang berumur lebih tua dari kamu. Apakah orang tuamu juga disebut plagiat?
Kemiripan karya yang tercipta dengan spontan bukanlah sebuah plagiat.
Aku harap kamu bisa lebih belajar dari pengalaman kakek ku yang memiliki nama yang sama dengan mu.
Thanks atas masukan klise mu.

rickywinky wrote on May 30, edited on May 30
plagiat meniru ide, menjiplak ide orang lain mentah-mentah dan mengaku bahwa ide orang lain, karya orang lain yang diimitasi sebagai karyanya sendiri. menurut saya, menjadi masalah saat kamu mengikutsertakan ke lomba dan menang. tentu bukan 100 persen kesalahan kamu, tetapi jurinya juga tidak punya wawasan.

kamu adalah penggemar james nachtwey. saya tahu itu. tidak mungkin karya spontan. semuanya sudah kamu pikirkan sebelum memotret. kamu sudah punya konsep dari fotonya Nachtwey, yang kamu jiplak dengan sangat mirip.

sorry, masalah namaku tidak bisa disamakan dengan plagiasi atas nama kakekmu. soalnya namaku tak pernah ikut lomba...

salam fotografi. ini hanya kritik membangun. lagipula saya tidak ikut lomba seperti itu. saya terlalu miskin untuk membeli kamera apalagi hanya untuk menjiplak karya orang.

pixelet wrote on May 31
Salam,
Cara berbicara mencerminkan watak si pembicara, kenapa kamu yakin saya adalah penggemar James Nachtwey? Opini 1.

Kalau ternyata naluri memotret saya, baik itu momen atau makna yang disampaikan oleh foto tersebut sama dengan nalurinya, apakah itu disebut plagiat? Opini 2.

Dipertegas, pemikiran angle foto itu terlintas ketika saya menemukan derita yang dirasakan objek yaitu sakit mata yang mengakibatkan pembengkakan pada bagian mata kanannya.

Secara spontan artinya, ide pengambilan foto itu keluar dengan waktu yang singkat sebelum si objek beranjak dari tempatnya.

Beralih ke penyadur, saya bisa saja mengatakan kamu seorang penulis yang suka menyadur tanpa etika. Kenapa? kamu tidak punya hak untuk menyadur karya saya ataupun James Nachtwey...
Apalagi untuk kepentingan pribadi blog kamu....

Soal nama kamu, itu jadi perumpamaan agar kamu bisa berfikir tepat.
Soal kaya atau miskin, itu tergantung relatifitas individu bung.

Saya kenal dengan seorang pemulung yang memiliki penghasilan perharinya sebesar Rp 25 ribu. Kalah dengan penghasilan saya...

Jadi jangan terlalu beropini, nanti malah jadi boomerang...
Terus berkarya, jagan malah jadi 'No Action Talk Only'....

rahmadsuryadi wrote on Jun 1
Hahaha....mantab dit....terlalu bodoh dan terburu2 dia mengadili karya orang.... tak usah irilah bung...belajar dan bekerja keraslah kamu kalok mau berprestasi seperti sutanta. Baru tau sedikit sudah sok pintar menganalisa karya orang..pakai hati nurani bung....hahahaha.....Bravo.... ....

rickywinky wrote on Jun 1
soal pembelaan, silahkan saja anda yang menjawab. anda yang tahu apakah SUTANTA MENIRU NACHTWEY atau sebaliknya, NACHTWEY MENIRU SUTANTA. Saya hanya melakukan akomodasi simbolik dan bentuk-bentuk visual yang sangat mirip dengan karya NACHTWEY.

buat bung rahmad: saya tidak punya nurani, juga tidak punya kamera. tapi saya tidak pernah jadi plagiat...

rickywinky wrote on Jun 1
masalah menyadur foto Nachtwey: semua materi yang tayang di internet artinya sudah disajikan ke publik. dan saya tidak pernah mengakui karya anda atau nachtwey sebagai karya saya. Opini pribadi di saya di
http://6ix2o9ine.blogspot.com/2010/05/plagiat.html dilengkapi sumber data yang valid. Ada nama Sutanta, ada nama Nachtwey. Bahkan saya juga mengutipkan sumber darimana asal saya mengutip. Bila harus mengutip kalimat atau memasang foto, saya selalu berusaha menuliskan sumbernya.Saya memang pemulung data, tetapi saya tidak mengakui ide dan konsep orang lain sebagai milik saya. Be a fair Brother... kita hidup di jaman internet. Semua perbincangan bahkan yang paling rahasia pun bisa tersebar di sini. Termasuk bagaimana Sutanta mengutip kalimat Nachtwey di Facebooknya (kalo belum dihapus). Saya yakin Sutanta mengagumi Nachtwey. Bahkan mungkin sangat terinpirasi. Tetapi inspirasi, sangatlah berbeda dengan plagiasi.

pixelet wrote today at 12:02 PM
Waduh bung, sorry untung masih ada waktu 5 menit untuk meladeni opini mu.
Mirip itu kata kamu, kalau kata ku nggak...
Karya ku jelas berbeda dengan James Nachwety... Walau Facebook ku menghargainya James Nacthwey sebagai tokoh fotografer perang.
Ide ku lahir, seperti ibu kamu yang tengah mengandungmu selama 9 bulan. Sebelumnya mereka tak mengkonsep mau bagaimana bentuk wajah kamu, male or female, white or black skin, etc...
Tiba waktunya, kamu pun bisa melihat dunia... Padahal mungkin sebelum kamu lahir, ibu atau ayahmu punya keinginan kalau anaknya lahir nanti mirip Ariel Peterpan. Hanya saja waktu yang membedakan mu dengan kakekku...
Itu Tuhan yang punya kuasa, kita hanya bisa menikmatinya.
Sama seperti proses pemotretan karya diatas, dasar memotretnya karena hati yang tergerak melihat kondisi itu...
Nah seperti yang kamu kerjakan itu, memang terlalu banyak yang harus dikutip. Sampai kamu bingung memilih, ya nggak?
Tapi, hati kecilmu nggak bicara apa? kalau kau hanya jadi penyadur... trus apa opini mu itu benar2 membuat hati senang? jika tidak kamu bisa kena sanksi KUHP loh...karena dari kemarin opini kamu aja yang keluar... sudah itu tidak ada yang comment lagi.

Satu hal, untuk menghasilkan karya itu, aku harus beradaptasi selama dua hari (freedom journalist)... setelah itu baru dapat izin memotret di tempat lumayan kumuh.
Kedua, yang diperjelas dalam caption adalah hasil konfirmasiku dengan objek. Baru aku berani pakai media untuk menyebarkan informasi itu, ya Binus International Photo Contest lah yang memberikan ku kebebasan itu.
Ketiga, kamu mulailah untuk nggak banyak cakap... tapi berbuatlah
Karena kalau kamu mengatakan foto ku mirip dengan yang lain.
Wajahku itu sangat mirip dengan salah satu temanku, apakah mamak kami kau sebut juga plagiasi?
Nggak ada niat bro... untuk memplagiat, selagi aku masih bisa bernafas dan berfikir.
Tapi kalau Tuhan berkehendak, foto itu punya kemiripan? mau bilang apa.
Yang jelas, aku hanya ingin menyampaikan pada dunia... masih ada toh orang yang gak punya KTP... sampai untuk mengobati matanya yang sakit saja, kas negara menagih sertifikasi untuk kelengkapan birokrasi...
Tapi orang kayak kamu membacanya lain>...
Lomba itu hanya kamu akhiri dengan perebutan kekayaan dan prestasi nyata... tapi nggak ada nurani
Caaaaapedeh... ladang ku masih lebar di Sumut ini bos
Oiya... aku kemarin ditawari untuk jadi fotografer media... namanya komat-kamit... tertarik? kamu sepertinya layak disitu.


(bersambung pada tulisan berikutnya. red)

Sunday, June 6, 2010

FORUM DISKUSI ONGKOSS, 7 Juni 2010

Forum diskusi fotografi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS, yang diselenggarakan tiap bulan, mengundang teman-teman pelaku, pencinta dan penikmat fotografi, untuk bisa hadir pada diskusi santei:

Hari/tanggal
Senin, 7 Juni 2010

Waktu
Pkl. 15.30 WIB s/d 16.30 WIB

Tempat
Jalan Pandu dalam I Nomor 42 (masuk dari jalan Pandu) Bandung
Rumah tinggal Dedy H. Siswandi

Wacana diskusi
“CARA HEBAT MENJADI PLAGIAT”
Kegiatan menjiplak karya selalu ada, baik itu dalam wacana seni lukis, musik maupun fotografi. Dalam media visual ini sangatlah labil, sangat rentan terhadap “pencurian” bentuk dan gagasan. Terbukti dengan lolosnya pemenang juara pertama pada penyelenggaraan lomba foto “Access to Health, yang diselenggarakan oleh IPC 2010 BINUS Jakarta. Dalam lomba foto ini, karya Sutanta Aditya Lubis mendapatkan juara pertama untuk kategori umum. Persoalannya, dengan sadar ia “menjiplak” disinyalir sama dengan karya pewarta foto James Nachtwey. Motif apa sebenarnya yang terjadi? Inikah cermin fotografi sesungguhnya di Indonesia?

Bisa dilihat di:
http://6ix2o9ine.blogspot.com/2010/05/plagiat.html
http://pixelet.multiply.com/photos/album/22/ACCESS_TO_HEALTH_The_winner_of_IPC_2010-General_Category

Dalam diskusi ini akan menghadirkan Dedy H. Siswandi, juga memiliki pengalaman yang sama, dengan karyanya “The Swimmer” pada ajang Salon Foto Indonesia beberapa tahun yang lalu. Apa pengalamannya? Mari kita nikmati bersama pada diskusi Omong Kosong Sore-sore episode pertama ini.

Forum diskusi ONGKOSS
Forum yang lahir tanpa bidan ini, terbentuk begitu saja. Hadir karena merasa perlu ada suatu dialog yang turut mengupas persoalan-persoalan seputar fotografi dengan cerdas.

Info: 081322393930 denisugandi@gmail.com