Tuesday, September 28, 2010

Ada Apa Dengan Lomba Fotografi?



Pertemuan Diskusi Ongkoss bulan ke-4, Selasa 28 September 2010.


Tidak seperti pertemuan sebelumnya, yang selalu lesehan, ternyata pada pertemuan ke-4, bulan tanggal 28 September 2010, ruang rapat lantai satu, Kantor Pos Utama, menyediakan kursi rapat yang nyaman untuk diduduki. Namun bukan berarti terlena karena udara sejuk dari pendingin ruangan, tetap saja suasana hangat karena tajuk diskusi adalah membicarakan “Lomba Foto Sesat atau Mencerdaskan”.

Seperti biasa, pengantar yang diutarakan oleh Deni Sugandi, sebagai bingkai awal untuk memasuki pokok pembicaraan, tepat pukul 16.30 WIB, karena seperti biasa, waktu adalah sangat fleksibel, sehingga terlambat setengah jam serasa satu menit. Namun tidak masalah, karena tepat waktu tersebut telah hadir praktisi fotografi, pengajar, antusias fotografi, pemilik sekolah fotografi, wartawan dan pegawai negeri, diantaranya; Sjuaibun Iljas, Ricky Nugraha, Deni Sugandi, Fauzan, Igun, Tirta, Myke, Agus Wahyudi, Hasan Ridwan, Mang Atto, Deni Rahadian, Mody Afandi, Eghi Gabred, Ivan Arsiandi, Moro Sujatmiko dan Adia.

Seperti sama-sama diketahui, bahwa meraih yang terbaik, terpilih menjadi paling unggul dari sekian entri foto yang dikirimkan, disebut lomba fotografi. Syarat-syarat lomba tersebut adalah ada komposisi juri, pembatasan tema dan hadiah. Selain itu adalah kelengkapan penunjang lainnya; promosi, ketentuan khusus dan kepentingan pihak sponsor.

Ada dua jenis lomba fotografi yang biasa dilakukan, berhadiah berupa nilai rupiah dan kompensasi barang atau menawarkan gensi. Urusan gengsi, bagi pehoby fotografi menjadi penting, karena nilai yang diinginkan adalah pengakuan dari satu sistem masyarakat fotografi, katakanlah misalnya Salon Foto Indonesia, sebagai tanda pencapaianya adalah pemberian gelar penghargaan, bukan rupiah. Untuk pilihan lomba yang memberikan iming-iming kompensasi bentuk hadiah, biasanya banyak sekali diselenggarakan, baik itu tingkat lokal maupun nasional. Mulai dari lomba yang diselenggarakan oleh pemerintah tentang jargon-jargon pariwisata, produk baru dari perusahaan hingga layanan jasa asuransi dan penerbangan, masing-masing berlomba menarik minat antusia fotografi. Dari nilai kompensasi ratusan ribu rupiah, hingga belasan, bahkan puluha juta. Mulai dari berhadiah kamera atau laptop, hingga berhadiah plesir wisata keluar negeri. Siapa yang tidak tergiur dengan iming-iming seperti itu? Bentuk lomba seperti ini paling banyak dan disukai, baik itu dari kalangan pemula, atau yang sudah lama menekuni fotografi. Dalam diskusi kali ini, Riadi Rahardja menyatakan bahwa lomba seperti ini penting bagi pemula,karena menunjukan taraf pencapaian, semacam barometer untuk menakar tingkat kemahiran teknis dan konten. Berbede dengan pendapat Moro Sujatmiko, yang juga antusias fotografi dan ketua Paguyuban Analog dan Kamera Kolot Bandung/PANAKOL, menyatakan bahwa, ketika tujuan untuk “mengukur kemampuan” bila diembel-embeli motivasi ingin mendapatkan kompensasi hadiah, maka karya tersebut menjadi tidak penting lagi. “Justru bila inginnya menang, karya tersebut hanya sebaga alat saja” ungkapnya.

Bagi Sjuaibun Iljas, dosen dan praktisi fotografi, menyatakan bahwa dalam lomba seperti inipun bisa membuka peluang praktek-praktek perkeliruan, misalnya merekayasa juara, untuk tujuan pengayaan pribadi atau kelompok. Ia mencontohkan lomba foto yang diselenggarakan di luar negeri, Ia mendapatkan informasi bahwa, juri terlibat dengan nepotisme, menyatakan juara yang memang masih kerabatnya. Benar atau tidak fakta seperti itu, ini memberikan gambaran bahwa lomba pun bisa menjadi sangat rentan dengan praktek-praktek seperti ini, apalagi memperebutkan keuntungan material. Hal ini terjadi karena keputusan juri tidak bisa dinganggu gugat lagi, baik itu dalam proses penilaian atau setelahnya.

Pilihan entri oleh juri selalu dinyatakan mutlak, maka disebut sebuah keputusan yang sepihak dan absolut. Dalam kesempatan ini, Adia mengusulkan bahwa penjurian tersebut seharusnya tidak seperti itu, juri harus bisa mempertanggung jawabkan pilihannya melalui dialog, kalau perlu dinyatakan dalam bentuk forum diskusi. Dengan demikian partisipan yang mengikuti kegiatan lomba ini bisa mendapkan argumentasi dari pihak juri.

Juara adu gambar ini tentunya diserahkan sepenuhnya pada dewan juri, yang dipilih berdasarkan kredibilitas dan kompetensinya, untuk tujuan lomba tersebut. Dewan juri tersebut dipilih dari kalangan yang mengerti etik dan aestetik bahasa visual fotografi. Komposisi juri bisa berasal dari pihak sponsor yang tahu persis keinginan rupa dan bentuk gambar, untuk kepentingan promosi pihak sponsor tersebut.

Boleh disimpulkan bahwa hanya foto tertentu saja, sesuai dengan harapan juri, yang bisa melenggang menjadi unggulan. Juri akan berpedoman pada tema. Pembatasan tema akhirnya menjadi sangat penting sekali. Bayangkan bila lomba foto dibuka sebebas-bebasnya, layaknya kompetisi fotografi yang pernah diselenggarakan oleh salah satu majalah nasional, Photo of The Month, versi majalah fotografi dan video, yang dijuri oleh Arbain Rambey, Ray Bachtiar, Dedy Irvan dan Peter Fabian. Begitu banyak karya foto yang masuk dari beragam genre, kemudian juri memilah dan memilih karya untuk menjadi tiga besar. Mudah sekali ditebak, beberapa karya yang masuk mempunyai bentuk dan gagasan nyaris sama setiap bulannya, sama seperti trend yang lagi banyak disukai.

Lantas untuk apa lomba diselenggarakan? Bagi pihak sponsor penyelenggara lomba, kegiatan seperti ini sangat menguntungkan, diantaranya bisa di “attach” sebagai pendukung event. Jadi lomba fotografi masuk dalam rangkaian acara, dengan tujuan meramaikan acara, bisa juga lomba foto ini berdiri sendiri, dengan tujuan mengkomunikasikan pilihan produk kepada masyarakat melalui karya. Hasil lomba tersebut biasanya diterbitkan dibeberapa media tulis, dengah harapan, pembaca dapat mengerti jenis dan produk yang ditawarkan pihak sponsor tersebut.

Hal yang sangat menguntungkan secara ekonomi bagi pihak sponsor adalah mencari beberapa ragam fotografi untuk kebutuhan promosinya. Melalui lomba fotografi, pihak sponsor akan mendapatkan ragam bentuk dan gagasan fotografi yang bervariasi. Bahkan untuk tingka nasional, jumlah foto bisa muncul dalam jumlah yang fantastis, hingga ribuan foto. Karya yang terpilih kemudian digunakan untuk kebutuhan media cetak komunikasi; poster, kalendar, ilustrasi majalah in-house dan sebagainya. Ini adalah cara yang paling murah dan mudah, dibandingkan mempekerjakan profesioanal fotografer.

Kembali pada sesat atau tidaknya, lomba itu bermata dua, untuk pemula bisa mengasah kemampuan, sekaligus sebagai barometer, disisi lain, bila tujuannya adalah pemenuhan keuntungan sesaat, mencari keuntungan finansial misalnya, tentunya karya tidak penting lagi. Fotografer yang menyertakan karyanya akan berlomba untuk “mengakali alias adu cerdik” sesuai dengan selera juri, begitu komentar Kinkin Panenthe, dalam komentarnya di salah satu jejaring sosial. Bahkan bukan rahasia umum lagi, disalah satu klub tua fotografi di Bandung dengan genre piktorial, mencari tahu terlebih dahulu siapa juri yang diberikan kesempatan untuk memilih. Maka tidak mengherankan, beberapa karya yang terpilih bisa diprediksi sebelumnya; sesuai selera dewan juri.

Tentu saja komposisi juri menjadi sangat penting sekali. Beberapa lomba fotografi yang pernah diselenggarakan oleh salah satu penyelenggara event lomba di Bandung, kini memasukan format juri dari kalangan pewarta foto, editor surat kabar dan kurator galeri. Latar seperti ini, tentu saja memberikan sudut pandang yang lain, meskipun sempat mendapatkan keluhan dari “pemain lomba” yang biasa melihat karya, saya pinjam istilah dari Adia adalah lomba foto “beauty”, Galih Sedayu selaku pelaksana lomba, menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar, ada “tatanan penilaian lain” yang dicoba ditawarkan.

Sesat atau tidak, pada akhirnya itu menjadi pilihan sikap. Boleh dikatakan bahwa lomba fotografi itu adalah cerminan intelektualitas budaya visual masyarakat kita. Semakin homogen dan itu-itu saja ragam bentuk dan gagasan karya yang disertakan, bisa dianggap ukuran kecerdasan bangsa kita. Sejatinya, untuk mengapresiasi karya, ajang lomba fotografi bukan hanya satu-satunya pilihan untuk berkarya, namun akan lebih elegan bila karya tersebut dihadirkan diruang publik, melalui gelar karya, pameran karya, biarlah publik yang mengapresiasi, bukan dewan juri yang terhormat.

Pada akhirnya fotografi adalah sebagai kontrol sosial, bukan sebagai alat pengantar komoditas untuk mendapatkan nilai rupiah. Baik atau buruknya, saya kembalikan kepada para petualang lomba fotografi, perlu atau tidak, itulah adalah pilihan. (denisugandi@gmail.com)

Friday, September 24, 2010

LOMBA FOTOGRAFI; MENCERAHKAN ATAU MENYESATKAN?

Pertemuan Diskusi Ongkoss bulan ke-4, Selasa 28 September 2010.

Lomba foto sejatinya adalah adu gambar, membadingkan foto satu dengan yang lainnya. Karya tersebut akan terpilih bila mempunyai ragam rupa dan gagasan yang berbeda dengan pilihan entri yang terlalu banyak diterima.

Agar tidak bias, gelar lomba tersebut biasanya dibingkai oleh topik atau tema tertentu, untuk membatasi ruang gerak pesan yang disampaikan, bahkan lomba foto tersebut disesuaikan dengan “pesananan sponsor” penyelenggara lomba.

Lomba yang hadir di negeri ini didominasi dengan embel-embel sejumlah rupiah, bahkan beberapa penyelenggaraan lomba, dari tingkat pelajar, mahasiswa hingga umum nasional, panitia menyediakan jumlah uang yang sangat fantastis, dari belasan hingga puluhan juta! Tidak seperti lomba foto yang mengejar prestise (lihat Photography on the move-PR dan Salon Foto Indonesia) bentuk lomba seperti ini membuka peluang berharap meraih keuntungan finansial, bahkan bagi beberapa orang, lomba foto seperti ini dianggap sebagai sandaran hidup-sumber penghasilan finansial, yang disebut pemburu hadiah.

Apakah lomba foto kini telah kehilanga maknanya? Embel-embel “Rupiah” menjadi cita-cita, sehingga karya sejati harus lebur digerus kompromi tema tertentu? (baca: tema pesanan) Betulkah pembatasan tema dalam lomba turut pula memandulkan ruang geraka apresiasi imajinasi? ataukah sebaliknya? Mencerahkan atau proses pembodohan yang sistematik? Mari kita kupas bersama-sama, secara elegan di ruang diskusi bersama Omong Kosong Sore-Sore, pertemuan bulan ke-empat.

Hari/tanggal

Selasa, 28 September 2010

Waktu/tempat

Pkl. 16.00 – 17.00 WIB, tempat: KANTOR PUSAT POS INDONESIA, Jalan Cilaki 73 Bandung, Ruang rapat lantai 1 (dekat tangga pintu utama/penerima tamu)

Tentang Onkoss

Forum apresiasi fotografi yang lahir tanggal 7 Juni 2010 di Bandung. Ruang bersama ini digagas dianggap perlu untuk berdialog, sekaligus untuk mengupas persoalan-persoalan seputar fotografi untuk fotografi itu sendiri.

Untuk informasi dan konfirmasi:

081322393930, denisugandi@gmail.com

GRATIS!