Sunday, November 14, 2010

KU LEDIS MAH CRAYING




Catatan dari diskusi Ongkoss ke-4, 13 Nopember 2010

Seorang kawan, Dadan, dalam kesempatan setiap lawatannya di suatu panggkalan jual beli kamera bekas di Cihapit, selalu berkomentar ketika menggulung layar diskusi tentang perempuan. “Ku ladis mah craying!” begitu celoteh spontannya, yang menjadi ciri khas. Merunut istilah tersebut, saya berfikir, apakah benar seangker-segarang macan, seorang laki-laki berhati Rinto Harahap? Ibarat singa pendelpop (ingat iklan sebuah eskrim) berwatak Hello Kitty? Karya fotografi empat perempuan ini bisa membuktikannya.

Banyak pajang karya yang tergantung, sesuai dengan urutan masing-masing artis fotografi. Semuanya tampak rapih, sesuai tema yang ditawarkan dalam kesempatan pameran bersama S(HE) ini, karya pameran bersama empat orang perempuan yang kembali menggunakan fotografi sebagai alat gugat yang ampuh. Beberapa karya dalam bingkai, disusun secara sistematis sesuai dengan usungan tema dan bentuk pesan dari setiap artisnya. Sebut saja, giliran mata pengunjung pertama, akan jatuh pada karya Karina, sebuah rentetan portrait, yang menelanjangi ruang “rahasia” laki-laki, yaitu kamar pribadi.

Garapan pameran fotografi bersama yang dinauingi di galeri PADI di Dago atas, dari tanggal ? hingga 13 Nopember 2010, sekaligus ditutup oleh rangkaian diskusi Ongkoss, yang meyoal tanggung jawab karya pada publik; artis talk. Dalam kesempatan ini, hadir penyaji pameran, minus Meicy Sitorus, yang berhalangan hadi, karena berada di Jakarta. Lengkap sudah, Chabib selaku penulis untuk pengantar pameran, Farisa, Karina dan Riksa. Maka diskusipun berjalan.

Seorang penanya, dalam rangkaian diskusi, “Saya ingin bertanya kepada audiens laki-laki yang hadir dalam diskusi ini. Kira-kira akan berkomentar apa? Setelah melihat karya ini” pancing seorang perempuan peserta diskusi pada forum. Sontak saja, sebuah pertanyaan yang bermnuansa “isu gender” yang memang sengaja dilontarkan. Namun sayang sekali, forum kurang kondusif. (bersambung)

Tuesday, November 9, 2010

ONGKOSS, Pertemuan ke-4, 11 Nopember 2010

PEREMPUAN SUMBER KOMODITAS FOTOGRAFI; Kenapa mereka harus berkarya?

Dalam rangkaian “artist talk” pameran empat perempuan, S(HE), Galeri Padi Bandung.

“Ketika kamera dimiliki laki-laki, secara otomatis benda tersebut berkelamin, sesuai dengan kodratnya, menyukai perempuan cantik. Meskipun fotografi kini sebagai alat yang sangat demokratis, tetap saja perempuan didudukan sebagai sumber komoditas keindahan. Apakah mereka melawan? Kenapa mereka harus berkarya?”

Dalam catatan sejarah fotografi di tanah air ini, perempuan nyaris hilang dan tidak mempunyai kesempatan yang sama dibandingkan lawan jenisnya. Pada masa kolonial, produksi fotografi yang sangat mahal nan rumit dan instrumen dengan bobot yang sangat berat, menjadi kendala bagi perempuan.

Hingga tahun 1919, seorang wanita blasteran Jerman-Perancis, dikenal Margaret Mathilde Weissenborn, yang biasa dipanggil Tante Thilly, mampu duduk sejajar dengan kaum pria. Semenjak belajar fotografi di studio komersial Kurkdjian di Surabaya, Thilly dipercaya untuk mendokumentasikan budaya dan alam Bali dan Jawa untuk kebutuhan promosi wisata oleh pemerintah Kolonial.

Tahun 1942, usaha foto Lux Fotograf di Garut dihancurkan Jepang, karena dianggap alat kapitalis.

Beberapa tahun berselang, Lip Pen Nio, pendiri studio foto komersil (Goodland) di Bandung, berdiri semenjak pendudukan Jepang, berkesempatan mendokumentasikan konferensi Asia-Afrika. Ia adalah satu-satunya perempuan yang mempunyai kesempatan yang sama dengan pria pada masa itu, sebut saja mereka yang bekerja untuk kebutuhan kantor berita, James Aditya, Inen Rusna, Paul Tedja Surja dan Oom Njoo. Bergeser era tahun 80-an, tidak lebih dari hitungan satu tangan, Desiree Harahap dan Enny Nuraheni ingin dicatatkan pula dalam sejarah fotografi Indonesia, sebagai pewarta foto perempuan.

Di Bandung, hanya satu kali pameran saja yang tercatat tahun 1996 karya tiga fotografer perempuan, di CCF Bandung, produk pendidikan di salah satu institusi fotografi modern pertama di Bandung, ISFD. Berselang tahun berikutnya, di Jakarta tahun 2003, melalui kurator fotografi Firman Ichsan dan Lisabona Rahman, tujuh perempuan menyuarakan kaumnya melalui karya pameran fotografi bersama, dengan tajuk “Mata Perempuan” yang menyoal perbedaan sudut pandang gender.

Kini, dalam rangkaian pameran fotografi bersama S(HE), yang digelar bulan Nopember 2010, lagi-lagi mengajak menyelami sudut pandang perempuan melihat lawan jenisnya; kaum laki-laki. Deretan peristiwa di atas, jelas menjadi bentuk eksistensi perempuan dalam kancah fotografi di Indonesia, ingin turut bersuara meskipun sebagai golongan minoritas.

Setelah ini, apakah perempuan tetap sebagai sumber komoditas yang sangat pas untuk diposisikan sebagai mempercantik birahi kaum laki-laki? Apa yang akan mereka lakukan? Kenapa mereka harus berkarya? Mari temui gundah gulanannya pada pertemuan diskusi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS.

Hari/tanggal

Sabtu, 13 Nopember 2010

Venue

Galeri Padi, Jl. Ir. H. Juanda no. 329. Bandung

Waktu

Pkl. 16.00 WIB s/d 17.30 WIB