Friday, January 21, 2011

FOTOGRAFI ITU ADA DI KEPALA

Pertemuan diskusi fotografi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS bulan Januari 2011.

Seperti pada pertemuan sebelumnya, forum diskusi fotografi Omong Kosong Sore-sore (Ongkoss) dipadu padankan dalam rangkaian pembukaan gelar karya fotografi bersama, sebuah ekspos karya rame-rame, yang menyoal tentang fotografi panggung, event musik Jazz yang diselenggarakan tanggal 6 dan 7 Nopember 2010 lalu, di gedung Sasana Budaya Ganesa Bandung. Kini dipajang diruang mungil, kedai kopi Mata Angin, jalan Bengawan Bandung, dari tanggal 20 Januari hingga 1 Nopember 2011. Gelar karya ini adalah titik pangkal dari rangkaian panjang, kegiatan workshop fotografi, tentang sebuah gagasan, yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk pemotretan.

Gagasan sebagai pre-visualisasi, akhirnya menjadi menu utama disamping menu lainya, di kedai ini. Ruang luar ringkas kedai yang beratapkan payung parasol, menjadi ajang obrol sore. Pertemuan diskusi Omong Kosong Sore-sore yang ke empat, menyoal tentang gagasan dalam fotografi. Hadirlah beberapa kawan-kawan yang memang setia, turut pula memberikan paparan kenapa sebentuk gagasan itu harus ada. Paparan pertama dilemparkan Deni Sugandi selaku moderator, mengenai apa itu gagasan, kenapa harus ada dan seberapa pentingkah? Pertanyaan tersebut kemudian direspon pa Agus Wahyudi, pegiat fotografi di PT. POS Indonesia.

Jauh sebelum mengenal fotografi, tugas rutin yang ia lakukan selama perjalanan Bandung-Surabaya cukup disikapi dengan mengistiratkan mata. “Tidur” selama perjalanan memang hal biasa bagi mereka yang tidak mempunyai aktifitas, namun setelah menguasai fotografi, ia meluberkan seluruh gagasan dalam jepretan kamera. Jadi ketika kesempatan ada, yang ia perlukan adalah merangkaikan cerita yang ia alami sebelumnya-melalui pengamatan, dan tentunya semuanya berawal dari gagasan kata pa Agus Wahyudi.

Berikutnya ambil contoh pengalaman Doni, salah satu partisipan diskusi ini menuturkan, bahwa gagasan itu menjadi begitu bermanfaat ketika hendak menerjemahkan pemotretan kompetisi bersepeda tingkat nasional, yang diselenggarakan KONI Jabar.

Dari awal, jauh sebelum turun dilapangan, ia mengatakan bahwa sangat perlu untuk merangkai gagasan sebelum menjepretkan kamera. Tanpa gagasan sudut cerita yang akan diambil akan bersifat sporadis, menembak sudut tanpa arah, cerita yang dihadirkan pun menjadi tidak menarik, karena tidak ada pesan yang kuat. “Awal pemotretan sih saya sikat-sikat aja, tetapi ketika sudah tiba di meja redaksi, tidak ada karya yang terpilih” liri Doni. Berbeda dengan pengalaman Nunu Nugraha, pewarta foto yang menyukai peristiwa budaya tradisi. Selalu saja, diawal liputan, gagasan haruslah ada. Yang menjadi persoalan, darimana gagasan itu bisa dirangkai? Tentunya perlu informasi pendukung untuk menentukan cerita apa yang akan digagas. Informasi bisa berasal dari penuturan nara sumber atau mereka yang pernah mengunjungi lokasi tersebut. Menurut Nunu, informasi tersebut sangat bermanfaat untuk merangkaikan cerita apa yang akan diangkat. Mulai dari sudut penafsiran pra-visualisasi, hingga perencanaan dilapangan. Tanpa gagasan, ibarat kelelawar yang berusaha keluar dari gua gelap, tanpa arah.

Informasi tersebut akan penting bilamana dituturkan secara baik dan sistematis. Mencari sumber informasi pasti membutuhkan kiat-kiat khusus. Tidak seperti informasi yang disediakan oleh mister Google, data yang akan digali, haruslah diungkap dengan cara-cara tertentu. Nunu menuturkan bahwa, dibeberapa tempat masyarakat adat, cara menggali informasi tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Perlu pendekatan, bisa dengan cara memberikan stimulus, yang bukan berarti nilai ekonomis, namun bisa berupa bentuk barang atau produk yang bisa mendekatkan. Seperti ia contohkan dengan memberikan rokok. Dengan demikian, sipencari data bisa lebih dekat dan mengorek lebih dalam makna upacara tradisi yang akan diungkap nanti. Perlu diketahui, bahwa menggali informasi itu bergantung pada konteks budaya, nilai tatakrama atau lingkungan pendukung. Seperti yang dicontohkan oleh Mia Damayanti Sjahir. profesi fotografi ia geluti sebagai bentuk apresiasi seni dokumentasi, sehingga ia dipercaya sebagai official fotografer untuk komunitas musik jazz satu-satunya di Bandung-Klab Jazz.

Dalam pekerjaannya, Mia memandang bahwa gagasan haruslah dimunculkan terlebih dahulu. Ia sadari betul hal ini karena dalam performing, masing-masing musisi mempunyai karakter dan ekspresif yang berbeda denga musisi lainya. Bahkan untuk musik jazz yang sangat sarat bebas nilai, tetap saja, gagasan pre-visualisasi haruslah ada, untuk mendukung konteks foto tersebut.

Bagaimana kalau gagasan ada, namun ketika hendak dipaparan secara teknis tidak mendukung? “Ngopi aja dulu!” sergah Krisna Satmoko, yang biasa dipanggil Cis. Memang ia menuturkan, ketika bingkai gagasan sudah ditentukan jauh sebelum menjepretkan kamera, namun kondisi lingkungan, cuaca, suasana hati itu sangat menentukan, belum lagi aral melintang yang disebut faktor lainya. Lebih baik mengulur waktu, menjaga jarak, kemudian mengolah kembali gagasan dalam imaji. Jadi bilamana gagasan sudah tidak bisa lagi diterapkan, maka improvisasilah! Memang bukan sebebas-bebasnya, sehingga menjadi serabutan, namun bisa berawal dari satu topik atau tema yang sama, “Misalnya sekarang saya seringg memotre motor vespa antik” kata Krisna menambahi. Rangkaian benang merah yang sama, akan menyusun cerita yang menarik, tutup Krisna Satmoko.

Sebuah gagasan. Ide dasar ini memang ditanamkan jauh sebelum menggunakan kamera, sebagai alat rekam. Karena gagasan adalah sudut pengambilan imaji, pondasi dasar untuk menentukan pesan, kemudian didukung dengan informasi. Sedangkan tema adalah koridor yang mengarahkan gagasan tadi. Berpijak disini, pasti fotografi itu bukan pada tangan ketika menekan shuuter speed, atau mata menentukan framing, namun fotografi itu adalah “ideas” ada dalam pikiran. Apakah betul fotografi itu ada dikepala? Mari selami lagi lebih dalam. (denisugandi@gmail.com)

No comments:

Post a Comment